
Ekonom sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menegaskan, pentingnya agar data ekonomi yang disampaikan pemerintah tidak bertentangan dengan realitas di lapangan. Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi 5,4% tidak mudah dicapai. Dengan pertumbuhan sebesar 5,12% pada triwulan II 2025 masih menjadi tanda tanya sejumlah pihak. Ini karena dua indikator pertumbuhan ekonomi, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan dan daya beli masyarakat masih tergolong rendah.
Eko menuturkan, apabila data ekonomi tidak konsisten dengan kenyataan, masyarakat akan dibuat bingung mengenai mana yang benar. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk Tanggapan Atas Nota Keuangan RAPBN 2026 secara daring, Sabtu (16/8).
"Kalau data ini tidak in line, nanti yang terjadi masyarakat bingung. Apakah salah di data, atau yang salah yang mana. Jangan sampai kontradiksi-kontradiksi data perekonomian dengan realitas itu membingungkan masyarakat," ungkapnya.
Selain itu, kontradiksi data dengan kondisi lapangan bisa menimbulkan sikap wait and see yang berpotensi menunda keputusan investasi dan konsumsi.
Eko kemudian menyoroti faktor pemicu inflasi. Misalnya, dari kenaikan harga beras yang mendorong inflasi naik menjadi 2,37% pada Juli 2025. Inflasi pangan yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat, sehingga berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
"Karena kalau harga pangan tidak terkendali, sulit untuk merealisasikan perkembangan ekonomi yang lebih tinggi," jelas Eko.
Selanjutnya, dalam RAPBN 2026, Eko menilai asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di angka 16.500 terlalu pesimis. Realisasi kurs sepanjang tahun ini menunjukkan tren menguat di kisaran 16.162–16.186 per dolar AS, sehingga angka 16.000-an per dolar AS dianggap level yang wajar.
Menurutnya, menjaga nilai tukar rupiah tetap di bawah Rp16.000 per dolar AS sangat penting, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo untuk mendorong aliran modal masuk (capital inflow) dan mencegah aliran modal keluar (capital outflow), sehingga investasi yang masuk ke Indonesia tetap berputar di dalam negeri.
Namun, Eko melihat adanya kekhawatiran pemerintah. “Kalau sudah pesimis sejak awal dengan menargetkan Rp16.500 per dolar AS, menurut saya ada hal-hal yang patut dikhawatirkan, entah itu gejolak global atau penurunan ekspor akibat tarif dari Amerika Serikat,” tukasnya.
Mengenai imbal hasil surat berharga negara atau yield SBN tenor 10 tahun yang dipatok 6,9% dalam RABPN 2026 dianggap terlalu tinggi. Padahal, kata Eko, saat ini yield SBN berada di kisaran 6,4%
Ia berpandangan dengan penurunan yield SBN, justru mencerminkan optimisme pasar dan memberi ruang bagi pemerintah untuk menurunkan defisit di masa depan, bahkan menuju defisit 0% seperti yang digadang Prabowo pada 2027 mendatang.
"Dengan yield di angka 6,9% itu seolah-olah kurang optimis menggambarkan bahwa yield kita memang mahal. Kalau tidak mahal, tidak ada yang mau beli SBN kita," tudingnya.
Di sisi penerimaan negara, catatan Eko menekankan target Rp3.147 triliun untuk 2026 menuntut perencanaan matang. Gap antara target dan realisasi outlook tahun sebelumnya cukup besar, sekitar Rp282 triliun. Strategi peningkatan penerimaan melalui perpajakan harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak mendistorsi pertumbuhan ekonomi.
Ekstensifikasi perpajakan dituntut dilakukan secara terukur, dengan menumbuhkan ekonomi terlebih dahulu agar wajib pajak memiliki kemampuan membayar.
"Ekstensifikasi perpajakan perlu perencanaan matang. Jangan sampai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara itu justru mendistorsi perekonomian. Ibaratnya angsanya belum bertelur tapi sudah disembelih," imbuhnya.
Selain pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan menyusut Rp22 triliun pada 2026 akibat harga komoditas yang moderat. Hal ini menuntut pemerintah untuk mencari solusi fiskal yang berkelanjutan tanpa membebani wajib pajak atau menekan kegiatan ekonomi. Dengan demikian, Eko menyimpulkan seluruh asumsi makroekonomi, mulai dari pertumbuhan, inflasi, nilai tukar, yield SBN, hingga penerimaan negara, harus saling sinkron agar target ekonomi 2026 dapat dicapai tanpa menimbulkan distorsi di lapangan. (E-3)