DEKLARASI sebanyak 4.014 perguruan tinggi negeri dan swasta yang menyatakan dukungan terhadap program prioritas Presiden Prabowo Subianto menuai sorotan. Sejumlah kalangan menilai pernyataan itu sarat dengan kepentingan politik, mengingat posisi perguruan tinggi sebagai institusi akademik mestinya menjaga independensi.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Eduart Wolok, membantah dukungan tersebut bermuatan politik. Menurut dia, dasar deklarasi adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang pengentasan kemiskinan dan pengurangan kemiskinan ekstrem.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Kami tidak masuk dalam ranah politik. Kami merasa terpanggil karena melihat pengentasan kemiskinan sebagai kewajiban moral,” kata Eduart saat dihubungi, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, kampus memiliki pengalaman langsung terkait persoalan sosial-ekonomi. Misalnya, jumlah mahasiswa dari kalangan tidak mampu yang diterima perguruan tinggi negeri terus meningkat. “Itu memberikan gambaran bahwa pengentasan kemiskinan harus menjadi program serius yang sama-sama kita dukung,” ujar dia.
Eduart juga mengungkapkan deklarasi tersebut atas nama civitas akademika, bukan sekadar rektor. “Perguruan tinggi harus menjadi bagian penting dari upaya pengentasan kemiskinan. Riset dan pengabdian masyarakat tidak boleh berhenti di jurnal, tapi bisa diimplementasikan,” kata dia.
Dukungan itu dibacakan secara resmi dalam forum yang melibatkan 217 rektor di Universitas Negeri Surabaya, Kamis lalu. Pengamat pendidikan Ina Liem menilai deklarasi politik massal pimpinan perguruan tinggi menimbulkan persoalan etika serius dan berisiko meruntuhkan kepercayaan publik.
“Ada risiko conflict of interest: dukungan politik bisa dihubungkan dengan akses dana, proyek, atau jabatan. Jika itu yang terjadi, kampus kehilangan independensinya dan kepercayaan publik pun runtuh,” kata Ina kepada Tempo, Jumat, 15 Agustus 2025.
Ina mengingatkan dunia kampus sendiri masih dililit berbagai persoalan integritas. Ia menyinggung sejumlah kasus yang belakangan mencoreng nama perguruan tinggi, mulai dari korupsi uang pangkal fakultas kedokteran, pelecehan seksual yang dibiarkan, hingga praktik nepotisme jabatan.
“Dalam kondisi seperti ini, deklarasi politik massal pimpinan perguruan tinggi justru menambah kecurigaan bahwa kampus lebih sibuk mencari akses dana dan kedekatan kekuasaan, ketimbang mengembalikan marwahnya sebagai penjaga integritas dan nalar kritis bangsa,” kata Ina.