Fenomena sound horeg, dentuman musik dengan volume tinggi yang kerap melebihi ambang batas aman pendengaran, kembali menjadi sorotan publik. Kasus terbaru di Lumajang, Jawa Timur, seorang ibu dilaporkan meninggal dunia saat menyaksikan karnaval dengan iringan sound horeg. Tragedi ini memicu pertanyaan: seberapa berbahayakah suara ekstrem bagi tubuh, khususnya jantung?
Dosen Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Dr Meity Ardiana, dr Sp JP(K) FIHA, menjelaskan bahwa paparan suara ekstrim dapat memicu respons fisiologis yang berpotensi mengganggu fungsi kardiovaskuler, terutama pada individu dengan faktor risiko penyakit jantung.
“Pada orang yang sehat, kemungkinan dampaknya relatif kecil. Namun, bagi yang sudah memiliki faktor risiko seperti gangguan irama jantung, paparan suara keras dapat menjadi pencetus terjadinya aritmia atau henti jantung,” terang Meity dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Kamis (14/8).
Menurutnya, kebisingan di lingkungan kerja atau hiburan merupakan salah satu faktor risiko penyakit jantung yang sering terabaikan. Paparan bising di atas 85 dB, jika terjadi secara terus-menerus, dapat mempengaruhi pembuluh darah, memicu stres fisiologis, serta meningkatkan risiko penyakit jantung koroner.
Meity menjelaskan bahwa dalam bidang kardiologi, pencegahan merupakan langkah utama. Bahkan di lingkungan kerja perkotaan, tingkat kebisingan yang tinggi sudah diakui sebagai salah satu faktor risiko penyakit jantung, sehingga memerlukan penggunaan alat pelindung diri.
“Kalau di tempat kerja saja kebisingan harus dikendalikan demi kesehatan, apalagi pada sound horeg yang dijadikan hiburan. Saya rasa itu bukan sesuatu yang menyehatkan, justru merugikan,” ujarnya.
Ia mendorong adanya regulasi khusus untuk melindungi kelompok rentan, seperti lansia dan penderita penyakit jantung, dari paparan suara ekstrem di ruang publik.
Temuan ini sejalan dengan prinsip manajemen risiko lingkungan kerja yang menempatkan kebisingan sebagai salah satu bahaya utama. Standar keselamatan kerja internasional merekomendasikan langkah preventif seperti audit kebisingan rutin, pemasangan peredam suara, dan penggunaan alat pelindung diri (earplug atau earmuff).
Meity menambahkan, pelajaran dari dunia kerja ini dapat diadopsi dalam pengelolaan kegiatan publik.
“Kalau di tempat kerja saja ada batasan kebisingan dan kewajiban memakai pelindung telinga, maka di kegiatan hiburan pun seharusnya ada pembatasan agar aman bagi kesehatan,” jelasnya.
Ia mengatakan risiko gangguan jantung akibat paparan suara keras kerap terjadi tanpa gejala awal yang jelas. Aritmia, misalnya, dapat muncul secara tiba-tiba dan berujung fatal.
“Jika tahu volumenya berlebihan, sebaiknya segera menjauh dari sumber suara,” imbaunya.
Melalui kesadaran bersama, regulasi yang tepat, dan penerapan prinsip pencegahan, diharapkan risiko gangguan jantung akibat kebisingan ekstrem dapat ditekan.
“Apa pun bentuknya, suara yang melebihi ambang batas aman akan berdampak buruk bagi jantung, baik pada usia muda maupun lanjut,” pungkasnya.