
Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) menyelenggarakan Festival Etalase Pemikiran Perempuan secara luring untuk pertama kalinya di Tempuran Space, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (18/7) hingga Minggu (20/7). Festival ini juga dapat diakses secara daring melalui kanal YouTube Sekolah Pemikiran Perempuan.
“Kami juga membuat festival setiap tahunnya yang disebut Pemikiran Perempuan. Festival itu biasanya daring, tapi tahun ini kami menyelenggarakan festival yang di Jogja, tatap muka dan juga hibrid, karena ada teman-teman yang tidak bisa hadir juga dan tetap ingin mengakses festivalnya,” ungkap Pengelola Sekolah Pemikiran Perempuan, Intan Paramaditha, Jumat (18/7).
Selama dua hari pertama, lebih dari 250 peserta hadir secara langsung untuk mengikuti rangkaian kegiatan. Kegiatan tersebut meliputi diskusi, ruang dengar, dan forum pertemuan terbuka. Festival ini menjadi bagian dari upaya kolektif SPP untuk memperluas akses dan dialog feminis lintas wilayah.
“Sekolah Pemikiran Perempuan itu adalah kolektif feminis. Kolektif yang sifatnya lintas kepulauan, berusaha untuk menghubungkan teman-teman perempuan dan teman biar untuk berbagi pengetahuan bersama dan juga untuk belajar bersama,” ujar Intan.
Festival Etalase Pemikiran Perempuan 2025 bertujuan membangun pengetahuan dari pengalaman perempuan, menjaga barisan gerakan feminis, serta membentuk aliansi lintas wilayah dan generasi menuju masa depan yang setara gender. Program-program dalam festival ini meliputi:
SPP untuk Remaja, yaitu kelas pengenalan pemikiran feminis bagi remaja perempuan yang membahas tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang kerap disisihkan.
Panggung, berupa diskusi panel tentang budaya dan isu sosial, seperti bahasa dan gender, kekerasan terhadap perempuan, serta kerja.
Riwayatmu, Puan, yang menampilkan sejarah hidup perempuan dalam seni dan budaya.
Pengantar Tidur, yakni pembacaan karya sastra oleh penulis muda dalam kolaborasi antara pendengar dan teman tuli.
Bongkar Kata, berupa ceramah singkat yang mengupas makna kata-kata populer secara kritis.
Rantau, yaitu panel solidaritas transnasional dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, yang membahas isu pengungsi, penerjemahan, dan perlawanan perempuan.
Konser Ceramah, yaitu pertunjukan musik yang disertai ceramah dari perempuan pencipta, diakhiri dengan sesi diskusi.
Diskusi dan Bazaar, meliputi klinik, lokakarya, serta bazaar di area festival.

Festival ini menyuarakan pemikiran dan pengalaman dari berbagai daerah, termasuk Wakatobi dan Sumba. Para peserta membahas beragam isu, seperti kawin tangkap, adat, kelas, dan politik global dalam perspektif feminisme lintas generasi dan wilayah.
“Pertama adalah menampilkan keragaman pemikiran puan, baik itu perempuan, trans puan, juga teman-teman queer, untuk kita dengarkan, dan juga berpikir dalam hal keragaman lintas pulau, lintas wilayah geografis, lintas kelas, lintas generasi, sehingga kita bisa mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan kita sendiri, asumsi kita sendiri, mungkin selama ini kita punya asumsi yang perlu kita terus buka,” tambah Intan.