Ekstraktivisme, Krisis Iklim, dan Tanggung Jawab Negara

4 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ekstraktivisme, Krisis Iklim, dan Tanggung Jawab Negara Ilustrasi.(Freepik)

DALAM beberapa tahun terakhir, publik semakin akrab dengan istilah transisi energi. Salah satu simbol yang diangkat adalah kendaraan listrik disebut sebagai solusi hijau untuk krisis iklim. Namun di balik narasi tersebut, kita menyaksikan ironi yang nyata: perusakan ekosistem seperti di Raja Ampat akibat tambang nikel, demi bahan baku baterai kendaraan listrik. Ini membuka tabir kebohongan besar bahwa transisi energi kita sedang berjalan di atas luka ekologis dan ketidakadilan sosial.

Ekstraktivisme bukan sekadar praktik tambang semata. Ia mencakup seluruh model ekonomi yang berorientasi pada pengambilan sumber daya alam secara massif: dari pertambangan, perkebunan monokultur, hingga proyek food estate dan kehutanan industri. Rezim ekstraktif adalah sistem yang membangun ekonomi di atas perampasan dan eksploitasi, serta terus bertahan karena disokong oleh kekuatan politik—baik dalam bentuk undang-undang, konsesi, maupun aparatus militer.

Di Indonesia, warisan ekstraktivisme begitu dalam. Sejak Orde Baru, negara secara sistematis membuka pintu investasi melalui regulasi seperti UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, dan UU Pertambangan. Dalam praktiknya, hutan-hutan Indonesia dikeruk, wilayah adat diserobot, dan wilayah rakyat dijadikan objek investasi. Ironisnya, 25 tahun reformasi tak membawa perubahan berarti. Justru, undang-undang seperti Omnibus Law, UU Minerba, hingga proyek strategis nasional memperluas wajah baru ekstraktivisme.

Laporan Walhi (2022) menyebutkan, lebih dari 147 juta hektar atau 76% wilayah Indonesia telah dibebani izin ekstraktif. Dari rezim ke rezim, izin terus dikeluarkan. Kini, indikasi penguatan ekstraktivisme kembali terlihat. Menteri Kehutanan mengumumkan 20 juta hektar hutan untuk proyek pangan dan energi, dan lebih dari 4,8 juta hektar hutan sedang diincar untuk konsesi kebun kayu dan karbon. 

Krisis iklim dan kerentanan Indonesia

Dampak ekstraktivisme terhadap krisis iklim tak terbantahkan. Kerangka Planetary Boundaries menunjukkan bahwa kita telah melewati 6 dari 9 batas aman bagi kehidupan manusia di bumi.

Indonesia sangat rentan. Sebagai negara kepulauan, ancaman perubahan iklim seperti banjir, kenaikan air laut, dan kekeringan mengintai lebih dari 12.000 desa pesisir dan puluhan pulau kecil. Di Maluku Utara, lebih dari 16.000 hektar hutan hilang dalam 15 tahun akibat tambang nikel. Jumlah nelayan terus menurun; ribuan kehilangan mata pencaharian karena pencemaran laut. Dalam skenario terburuk, banyak wilayah bisa tenggelam, dan rakyat akan menjadi pengungsi iklim di negeri sendiri.

Namun solusi yang diambil pemerintah justru menambah masalah. Alih-alih beralih dari akar persoalan, investasi iklim tetap dibangun di atas kerangka ekonomi ekstraktif. Proyek-proyek seperti kendaraan listrik, bioenergi, hingga perdagangan karbon masih bertumpu pada logika yang sama: mengambil, menjual, dan mengatur alam demi akumulasi modal. Solusi palsu seperti carbon offset, co-firing biomassa, hingga teknologi carbon capture hanyalah pembenaran untuk tetap melanggengkan 
investasi sembari menyamarkan kerusakan.

Tanggung jawab negara

Situasi ini hanya bisa dibalik jika negara melakukan koreksi fundamental. Negara harus mengakui bahwa akar krisis bukan pada kurangnya teknologi, tapi pada sistem yang timpang dan tidak adil. Salah satu langkah pertama adalah membatalkan UU Cipta Kerja dan semua regulasi yang memfasilitasi perampasan sumber daya rakyat. Sebagai gantinya, pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang Keadilan Iklim dan Undang-Undang Masyarakat Adat.

UU Keadilan Iklim penting bukan hanya sebagai dokumen hukum. Tetapi, sebagai bentuk pengakuan terhadap model ekonomi dan pengetahuan rakyat yang selama ini menjaga keseimbangan alam. Masyarakat adat, misalnya, telah menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan 70% hutan di wilayah adat masih berada dalam kondisi baik. Bukankah ini bukti paling konkret bahwa ekonomi rakyat berbasis relasi dengan alam lebih efektif daripada model ekstraktif?

UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat merupakan kritik terhadap model pertumbuhan ekonomi yang selama ini gagal. Model yang memisahkan manusia, alam, dan ekonomi, harus diganti dengan pendekatan baru: ekonomi yang menyatu antara manusia dan alam, seperti yang telah dipraktikkan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal selama berabad-abad. Inilah yang oleh Walhi disebut sebagai ekonomi nusantara, sebuah sistem yang tidak mengejar pertumbuhan tak terbatas, melainkan keseimbangan.

Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, Indonesia tidak boleh terus berjalan dengan logika bisnis seperti biasa. Negara tak bisa terus bersembunyi di balik jargon 'hijau' sambil melanggengkan perampasan atas nama pembangunan. Sudah saatnya negara bertanggungjawab, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan kebijakan yang adil, partisipatif, dan berpihak pada rakyat serta kelestarian bumi.

Read Entire Article