REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Mantan Kaprodi PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, mengaku tidak mengetahui adanya biaya operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta yang harus dibayarkan mahasiswa PPDS Anestesi Undip. Hal itu disampaikan saat Taufik diperiksa sebagai terdakwa di persidangan kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (30/7/2025).
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) bertanya kepada Taufik apakah mengetahui istilah BOP. "BOP sebenarnya istilah yang tidak saya tahu," kata Taufik menjawab pertanyaan tersebut.
Taufik mengaku hanya mengetahui soal tabungan pendidikan. Tabungan tersebut adalah dana yang dibayarkan para mahasiswa PPDS Anestesi Undip untuk membiayai keperluan-keperluan akademis, seperti ujian kompetensi, misalnya, yang tak tercakup dalam Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) maupun Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).
JPU kemudian mengonfirmasi kembali kepada Taufik apakah aliran uang pada BOP dan dana pendidikan adalah sama. Taufik menjawab seharusnya berbeda. "Harusnya tidak atau faktanya tidak?" ccar JPU. "Saya tidak tahu. Istilah BOP saja saya belum tahu," jawab Taufik.
Dia kemudian menjelaskan bahwa para mahasiswa PPDS Anestesi Undip memang mengumpulkan dana kepada Sri Maryani, staf admin Prodi PPDS Anestesi FK Undip yang turut menjadi terdakwa dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari. Taufik menyebut dana yang dikumpulkan kepada Sri digunakan untuk membiayai ujian-ujian, seperti computer based test (CBT), objective structured clinical examination (OSCE), dan ujian komprehensif.
"Kalau menurut keterangan saksi-saksi, BOP itu termasuk (untuk membiayai) CBT, OSCE, dan lain sebagainya. Apakah memang itu ruang lingkupnya yang saudara tahu?" tanya JPU kepada Taufik. "Saya tidak tahu," jawab Taufik.
JPU kemudian menyinggung tentang Zara Yupita Azra, mahasiswi PPDS Anestesi yang turut menjadi terdakwa dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari. JPU mengatakan, Zara yang merupakan senior Aulia Risma adalah bendahara angkatan.
Salah satu tugas bendahara angkatan adalah mengumpulkan BOP dari para mahasiswa PPDS Anestesi di angkatan tersebut sebesar Rp80 juta. Setelah terhimpun, seluruh dana tersebut akan disetorkan secara tunai kepada Sri Maryani.
JPU lantas bertanya pada Taufik apakah Zara pernah melapor kepadanya bahwa dia diminta Sri Maryani menghimpun dana sebesar Rp80 juta dari setiap mahasiswa PPDS. "Kalau berkaitan dengan ujian, itu memang pernah lapor. Tapi kalau berkaitan dengan uang-uang yang itu, saya tidak tahu," kata Taufik.
Taufik pun membantah keterangan yang menyebutnya menunjuk bendahara pada tiap angkatan PPDS Anestesi Undip. Hal itu karena JPU, mengutip keterangan saksi-saksi yang sudah dihadirkan di persidangan, menyampaikan bahwa mereka menjadi bendahara karena ditunjuk Taufik.
Dekan FK Undip Yan Wisnu Prajoko juga telah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari. Dalam kesaksiannya, dia mengaku tidak mengetahui adanya pungutan BOP yang dilakukan Prodi PPDS Anestesi Undip.
"Saya tahu (soal BOP) sejak di-BAP. Yang memberi tahu penyidik Polda (Jawa Tengah)," kata Yan Wisnu pada persidangan 9 Juli 2025 lalu
Yan mengungkapkan, biaya resmi yang harus dibayarkan mahasiswa PPDS Anestesi hanya SPP dan SPI. "Biaya semester Rp15 juta dan SPI Rp25 juta," ujarnya.
Biaya pendidikan resmi tersebut harus dibayarkan via transfer ke rekening universitas. Yan Wisnu menekankan, biaya terkait pendidikan tidak diperkenankan disetorkan kepada staf universitas.