REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi syariah dinilai masih ditempatkan sebagai sektor sampingan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Padahal kontribusinya terhadap perekonomian nasional dinilai semakin signifikan.
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, menegaskan posisi strategis ekonomi syariah seharusnya diakui dalam desain fiskal negara. Namun, dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, kontribusi sektor ini dinilai masih terbatas.
“Ekonomi syariah bukanlah sektor pelengkap atau pinggiran, melainkan memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasional. Namun demikian, kontribusi ekonomi syariah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026 masih bersifat parsial dan terbatas, bahkan seolah dipandang sebagai pelengkap,” ujarnya dalam Diskusi Publik bertajuk “Ekonomi Syariah Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026” yang diselenggarakan Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Senin (25/8/2025).
Menurutnya, instrumen keuangan syariah seperti perbankan, sukuk, dan pasar modal syariah terbukti memberi kontribusi besar pada kebijakan fiskal. Karena itu, ia menilai saat ini momentum tepat untuk mendorong mainstreaming ekonomi syariah dalam arsitektur RAPBN.
"Tantangan terbesar adalah bagaimana pemerintah dapat menggeser paradigma dari parsial approach menuju integrated approach,” kata Nur Hidayah.
Peneliti CSED INDEF, Abdul Hakam Naja, menilai RAPBN 2026 memang sudah mengakui peran ekonomi syariah sebagai pendorong transformasi struktural. Ini terlihat terutama dalam diversifikasi pendanaan. Abdul Hakam menyebut instrumen syariah telah menjadi pilar pembiayaan utang negara.
Beberapa di antaranya yakni Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) ritel sebesar Rp1,16 triliun hingga Juni 2025, investasi di Islamic Development Bank (IsDB) Rp1,69 triliun pada 2026, serta penerbitan Sukuk Ritel, Sukuk Tabungan, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Totalnya menopang pembiayaan utang Rp781,87 triliun.
Pemerintah dinilai perlu merambah sektor produktif lainnya. Seperti transformasi sektor riil, akselerasi ekspor, hingga integrasi pada program prioritas seperti kedaulatan pangan dan energi.
Hal ini juga satu arah dengan visi Indonesia sebagai pusat halal dunia pada 2029. Menururnya, pemerintah perlu memperkuat hilirisasi pangan, fesyen, kosmetik halal, dan pariwisata ramah Muslim, serta memanfaatkan peluang perdagangan dengan 57 negara OKI.