Pernahkah kamu mendengar ungkapan bahwa perempuan “sebaiknya sabar” atau “jangan gampang marah”? Dalam banyak situasi, perempuan sering dituntut untuk menahan emosi demi menjaga keharmonisan, baik di keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sosial. Senyum yang tetap terpasang, meski hati bergejolak, dianggap sebagai tanda keanggunan. Namun, apakah menahan marah betul-betul membuat hidup lebih baik, atau justru ada harga mahal yang harus dibayar?
Pertanyaan ini penting karena emosi yang tidak tersalurkan ternyata tidak hanya memengaruhi kondisi psikologis, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan fisik. Salah satu organ yang paling rentan terdampak adalah jantung.
Mengapa Perempuan Sering "Diharapkan" Menahan Marah?
Secara sosial-budaya, perempuan identik dengan kelembutan dan kesabaran. Marah dianggap tidak pantas, bahkan tabu. Akibatnya, banyak perempuan belajar sejak kecil untuk menyimpan amarah, menekan emosi, dan memilih diam meski hatinya tersakiti. Pola ini tidak hanya membentuk karakter, tetapi juga menjadi kebiasaan hidup yang sulit dilepaskan.
Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Kita Menahan Marah?
Saat marah muncul, tubuh sebenarnya mengaktifkan “mode siaga”. Hormon stres seperti adrenalin dan kortisol meningkat, detak jantung bertambah cepat, dan tekanan darah naik. Jika emosi ini tersalurkan, tubuh perlahan kembali normal. Namun, ketika amarah dipendam, lonjakan hormon itu tetap bekerja di balik layar. Bayangkan mesin yang dipaksa terus menyala tanpa pernah didinginkan—lama-lama akan aus.
Studi dari University of Pittsburgh memperkuat temuan ini. Peneliti menemukan bahwa perempuan yang jarang mengekspresikan amarahnya 70% lebih berisiko mengalami aterosklerosis, yaitu penyempitan pembuluh darah yang dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Fenomena ini disebut self-silencing, ketika perempuan memilih menahan emosi demi menjaga hubungan sosial atau rumah tangga. Ternyata, kebiasaan itu bukan hanya menguras batin, tetapi juga benar-benar merusak tubuh.
Koneksi Langsung antara Amarah yang Tertahan dan Penyakit Jantung
Berbagai penelitian medis menegaskan bahwa emosi negatif yang ditekan berhubungan langsung dengan kesehatan jantung. Tekanan emosional kronis bisa mempersempit pembuluh darah, mengurangi aliran oksigen, dan membuat jantung bekerja lebih keras. Akhirnya, risiko hipertensi, gangguan irama jantung, hingga serangan jantung meningkat.
Dengan kata lain, jantung ikut menanggung beban dari amarah yang tidak pernah dilepaskan. Menahan marah bukan hanya “soal sabar”, tetapi juga bisa jadi jalan sunyi menuju penyakit kardiovaskular. Tidak Berarti Harus Meledak-ledak. Lalu Harus Bagaimana? Tentu bukan berarti kita boleh marah tanpa kendali. Kuncinya adalah menyalurkan emosi dengan sehat. Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain:
Menahan marah mungkin terlihat sepele, bahkan sering dianggap sebagai bentuk kesabaran. Namun, jika dilakukan terus-menerus, dampaknya bisa sangat serius, terutama bagi kesehatan jantung perempuan. Studi medis sudah membuktikan bahwa ekspresi emosi dalam hubungan sangat penting, bukan hanya untuk keharmonisan sosial, tetapi juga untuk melindungi kesehatan jantung.
Mulailah lebih mindful terhadap kesehatan emosional. Ingat, menjaga perasaan bukan berarti harus selalu diam, dan menjaga jantung salah satunya dimulai dari berani mengungkapkan apa yang kita rasakan.