Di era modern, makna patriotisme kerap dikaitkan dengan jargon dan simbol. Sayangnya, substansi pengorbanan sebagai inti dari patriotisme sering terlupakan. Banyak yang merasa tidak punya peran karena merasa tidak cukup mampu. Namun dalam sejarah Islam, patriotisme tidak diukur dari besar kecilnya kontribusi, tetapi dari keikhlasan dan cinta yang melatarinya.
Gus Baha pernah menyampaikan bahwa patriotisme adalah pengorbanan demi kebenaran dan kemaslahatan, bukan demi citra apalagi kenyamanan pribadi. Beliau mencontohkan momen penting dalam sejarah Islam: Perang Tabuk. Ketika Nabi SAW mengajak umat Islam bersiap untuk perang, Sayyidina Utsman bin Affan RA menyumbangkan 100 ekor unta lengkap dengan pelana dan perbekalannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang konglomerat saleh.
Namun Gus Baha menekankan sisi lain yang tak kalah mulia: ada sahabat miskin yang datang hanya membawa segenggam gandum, karena tidak memiliki hal lain untuk diberikan. Tetapi karena niat dan cinta mereka kepada perjuangan Nabi, pengorbanan itu tetap dihitung sebagai amal yang besar.
Kisah ini sangat relevan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat kita hari ini. Kita harus merasa bangga bisa bersedekah dalam kondisi miskin, karena pengorbanan kita sangat heroik. Bayangkan jika kita yang hanya memiliki aset senilai 1 juta rupiah bersedekah 100 ribu, berarti kita sedang menyumbang 10% dari total aset kita. Itu jelas lebih heroik dan dramatis dibandingkan orang sekaya Sandiaga Uno menyumbang 1 miliar, karena 1 miliar baginya bukan 10% dari total kekayaannya.
Jika semangat ini hidup kembali, maka rasa tanggung jawab sosial akan tumbuh di semua lapisan masyarakat. Tidak akan ada lagi perasaan rendah diri hanya karena ekonomi lemah. Sebaliknya, akan lahir masyarakat yang berlomba-lomba memberi, bukan menunggu bansos, apalagi serangan fajar. Bangsa akan menjadi kuat karena dibangun oleh semangat kolektif.
Namun di sinilah masalah zaman sekarang: banyak orang kaya masih berjiwa meminta, bukan memberi. Banyak pejabat masih berjiwa pedagang, sibuk mencari untung dari jabatan yang seharusnya jadi ladang pengabdian. Banyak yayasan pendidikan dan sosial masih berjiwa kenikmatan pribadi, sibuk membangun fasilitas mewah untuk pengurusnya tapi melupakan kaum miskin yang jadi alasan berdirinya yayasan itu. Para politisi pun masih bermental balik modal, menjadikan rakyat sekadar ladang investasi politik.
Seakan mereka akan hidup selamanya saja. Padahal makan sehari paling dua piring nasi. Tidur cukup di ruang 2 x 2 meter. Tapi rakusnya ingin membangun istana, mengoleksi puluhan bahkan ratusan mobil. Seakan lupa, bahwa pulang ke akhirat cukup dengan keranda kayu sederhana. Ironisnya, bahkan liang kubur pun kini dijadikan bisnis: ada kompleks pemakaman dengan harga miliaran, seolah kematian pun bisa dikomodifikasi.
Patriotisme mestinya menumbuhkan kesadaran bahwa harta, jabatan, dan kuasa hanyalah titipan. Bukan untuk ditumpuk, melainkan untuk dipersembahkan bagi kemaslahatan. Sayyidina Utsman mengajarkan kita bahwa kekayaan bisa menjadi ladang perjuangan. Sahabat miskin dengan segenggam gandumnya mengajarkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk absen dalam perjuangan.
Langkah konkret yang bisa kita lakukan sederhana: berkontribusi sesuai kemampuan. Jika punya harta, sumbangkan. Jika punya tenaga, gunakan untuk membantu. Jika hanya punya waktu, gunakan untuk peduli. menunggu besar dan banyak untuk mulai bergerak bukan solusi. Bahkan yang sedikit pun bisa menjadi penyelamat sebuah perjuangan.
Akhirnya patriotisme mesti bukan milik orang kaya saja, tapi milik siapa saja yang memiliki cinta dan keikhlasan untuk berkorban. bahwa yang kecil bukan berarti tak berarti. yang penting bukan seberapa banyak, tapi seberapa tulus.