Sungguh memilukan kabar yang saya baca dari sebuah media daring, di mana Piyu, Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), menyuarakan agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebaiknya dibubarkan saja. Saya yakin, jika LMKN benar-benar dibubarkan, kerusuhan di panggung industri musik Indonesia akan jauh lebih buruk dari situasi yang berkembang belakangan ini.
Saya cukup mengetahui bahwa memang ada beberapa pihak yang sangat resisten terhadap kehadiran LMKN. Tanpa ingin menuduh mereka sebagai dalang di balik semua ini, pertanyaannya adalah: haruskah harapan mereka untuk melihat industri musik kembali ke era kacau itu tercapai?
Sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pembentukan LMKN, saya teringat kembali pada masa-masa kelam yang terjadi sebelum lembaga ini lahir. Berbagai badan usaha swasta yang menggunakan musik untuk menghibur pelanggannya, seperti tempat karaoke, panggung musik, hotel, dan restoran besar, dibuat resah oleh ketidakpastian. Mereka kerap didatangi oleh berbagai pihak yang menagih royalti musik, sehingga sulit memprediksi berapa nilai kompensasi yang selayaknya harus dialokasikan.
Kekacauan itu adalah alasan mengapa negara mengambil langkah maju. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, yang sudah mengakui Hak Ekonomi pencipta, kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. UU yang baru ini membawa banyak perubahan signifikan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. Salah satu terobosan utamanya adalah pembentukan LMKN sebagai jawaban atas kekacauan masa lalu.
Saya tidak akan menyangkal bahwa LMKN hingga saat ini memang belum mampu mengemban tugasnya dengan baik dan benar. Banyak kekurangannya, mulai dari pola koordinasi dengan lembaga LMK di bawahnya, kurangnya transparansi distribusi royalti kepada para pemilik hak ekonomi, hingga kegagalan dalam membangun sistem tata kelola apresiasi musik yang menjadi fokus utamanya.
Namun, ketidakmampuan LMKN dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan hal yang jauh lebih prinsip, yaitu menata dan membangun tata kelola industri musik yang ideal. Tujuan mulia di balik pendirian LMKN adalah menciptakan sistem yang adil dan teratur bagi semua pihak.
Maka, pekerjaan rumah kita bukanlah kembali ke titik nol dengan membubarkan LMKN, melainkan membenahi dan memperkuatnya. Dibutuhkan introspeksi total dari LMKN dan dukungan penuh dari negara untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Karena pada akhirnya, stabilitas industri musik tidak akan tercapai tanpa adanya satu lembaga terpusat yang profesional dan dipercaya, yang dapat memastikan hak-hak musisi dan pemilik hak cipta terlindungi secara sah.
Belajar dari Sang Raksasa Perangkat Lunak: Jejak Sukses Microsoft dan Relevansinya untuk LMKN
Dalam konteks penegakan hak cipta dan pemungutan royalti, Indonesia tidaklah sepenuhnya asing dengan tantangan membangun kesadaran dan kepatuhan publik. Kita bisa menoleh ke belakang, pada awal era 2000-an, ketika industri perangkat lunak global, termasuk raksasa seperti Microsoft, berjuang keras agar publik mau menghargai sebuah karya cipta. Langkah-langkah strategis yang ditempuh Microsoft kala itu, dari edukasi publik tentang pentingnya menghargai karya cipta hingga penerapan model ekonomi yang bertahap, akhirnya membuahkan hasil yang signifikan. Situasi saat ini menunjukkan bahwa kesadaran akan penggunaan perangkat lunak legal telah jauh meningkat.
Kisah sukses Microsoft ini sangat relevan bagi LMKN. Alih-alih terpaku pada penegakan hukum semata, LMKN selayaknya mengadopsi pendekatan yang lebih holistik. Langkah pertama yang krusial adalah membangun kesadaran dan kepercayaan publik terhadap pentingnya royalti musik. Edukasi yang gencar dan transparan mengenai manfaat royalti bagi para musisi, perkembangan industri, dan keberlangsungan ekosistem musik secara keseluruhan, harus menjadi prioritas utama.
Selanjutnya, LMKN dapat mempertimbangkan implementasi model ekonomi yang lebih bertahap dan adil, yang tidak memberatkan para pengguna komersial, terutama pelaku usaha mikro dan kecil. Skema tarif berjenjang dan masa transisi pengenalan tarif bisa menjadi solusi yang lebih diterima masyarakat.
Terakhir, transparansi total dalam pengelolaan dan distribusi royalti, yang didukung oleh pemanfaatan teknologi digital dan audit independen, adalah kunci untuk mengatasi persoalan kepercayaan yang selama ini menghantui LMKN.
Belajar dari jejak sukses Microsoft, kita memahami bahwa membangun penghargaan terh...