
Gunung Rinjani memiliki pesona tersendiri bagi para pendaki. Gunung yang berada di Nusa Tenggara Barat, ini memiliki danau yang luas serta jalur bebatuan dan berpasir.
Namun, di balik keindahannya, ada beberapa jalur pendakian Gunung Rinjani yang harus diwaspadai para pendaki pemula. Peristiwa jatuhnya Juliana De Souza Pereira Marins (27 tahun), pendaki asal Brasil, di tebing bebatuan ini bisa menjadi pembelajaran.
Gunung Rinjani terletak di tiga kabupaten di NTB, yaitu Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Utara.
Rinjani adalah gunung berapi aktif dengan ketinggian lebih dari 3.700 mdpl. Jalur pendakiannya bervariasi dari tanah yang licin, batuan terjal, pasir vulkanik yang dalam (terutama di bagian puncak), hingga punggungan bukit yang sempit dan curam.

Jika kecelakaan terjadi di area sulit seperti tebing, jurang, atau jalur yang sangat terjal, proses mengevakuasi korban akan sangat memakan waktu dan membutuhkan peralatan khusus seperti tali-temali, tandu khusus.
Cuaca di gunung sangat tidak terduga dan bisa berubah drastis. Kabut tebal dapat mengurangi jarak pandang hingga nol, hujan deras bisa membuat jalur sangat licin dan berbahaya, serta angin kencang atau badai petir dapat menghentikan operasi evakuasi.
Anggota SAR Unit Lombok Timur, Syamsul Padhli, menyampaikan beberapa spot berbahaya yang harus dicermati oleh para pendaki.
"Ada tempat yang berbahaya harus hati-hati jalur menuju puncak dari Punggungan, dari Pelawangan ke danau, dari danau ke Torean, dari danau ke Senaru," ujar Syamsul kepada kumparan, Kamis (26/6).

Syamsul menyampaikan, selain peralatan yang memadai, hal utama yang perlu dipersiapkan untuk mendaki Gunung Rinjani yakni fisik. Karena pendaki tidak menutup kemungkinan akan menghadapi perjalanan yang berbahaya.
"Jalur licin, longsor. Fisik juga harus bagus," ucapnya.
Perjalanan yang ditempuh dalam pendakian Gunung Rinjani pun memakan waktu berhari-hari.
"Ada yang 2 hari 1 malam, ada yang 3 hari 2 malam, ada yang 4 hari 3 malam," katanya.
Syamsul mengungkapkan, selama proses evakuasi pendaki asal Brasil itu, banyak rintangan yang harus ia lalui.

"Kesulitannya ya karena medan yang terjal juga terus batuan lepas, kabut, hujan," katanya.
Selain itu, perjalanan untuk menuju lokasi tempat titik korban terjatuh cukup lama dan harus berjalan kaki.
"Kenapa lama? Kita dapat informasi kan jam 9 (Sabtu, 21 Juni 2025). Kita dari Selong ke Sembalun itu makan waktu 1 jam setengah kan. Belum dari Bukit Tiga kita jalan ke punggungan itu jalan kita, jauh jalan kaki. Itu yang membuat kita lambat," ungkapnya.

"Saya sampai itu magrib sampai di sana terus bikin sistem. Setelah itu langsung turun saya itu. Kenapa lambat ya karena itu jalan kaki. Kalau pakai helikopter kan cepat, tapi kan cuaca tempat landing juga itu," lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, mengatakan hal serupa.
Rintangan yang dihadapi tim SAR di lapangan dalam proses evakuasi WN Brasil ini cukup berat.
Selain kondisi cuaca yang tak bersahabat, oksigen yang terbatas di ketinggian 9 ribu kaki juga jadi kendala evakuasi.
Kondisi ini membuat pergerakan tim rescue sulit. Di sana kondisi jurang sangat curam dan terjal. Dia membeberkan, medan di sana harus menyusuri jalan setapak dengan suhu yang sangat terbatas.
"Dan ini yang memang agak sedikit ekstra yang harus kita lakukan untuk berpikir jangan sampai tindakan yang dilaksanakan oleh rescuer termasuk juga pesawat yang sudah kita berangkatkan ke sana melaksanakan tugas tidak dengan aman," terangnya.