REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan defisit anggaran pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) seiring pendapatan negara yang ditargetkan tumbuh 9,8 persen dari outlook APBN 2025.
"RAPBN 2026 kalau kita lihat posturnya, pendapatan negara secara headline tumbuhnya 9,8 persen mencapai Rp3.147,7 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Pertumbuhan itu didorong oleh penerimaan pajak yang dibidik tumbuh 13,5 persen menjadi Rp2.357,7 triliun. Sedangkan, penerimaan kepabeanan dan cukai ditargetkan tumbuh 7,7 persen menjadi Rp33,43 triliun.
Dengan demikian, penerimaan perpajakan pada RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp2.692 triliun atau tumbuh 12,8 persen. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ditargetkan sebesar Rp455 triliun atau terkoreksi 4,7 persen dari outlook 2025.
"Karena PNBP sekarang permanen tidak lagi mendapatkan dividen," jelasnya.
Untuk belanja negara, ditargetkan sebesar Rp3.786,5 triliun atau tumbuh 7,3 persen dari outlook 2025.
Belanja pemerintah pusat (BPP) ditetapkan sebesar Rp3.136,5 triliun atau tumbuh 17,8 persen, yang terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp1.498,3 triliun atau tumbuh 17,5 persen dan belanja non-K/L Rp1.638,2 triliun atau tumbuh 18 persen.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan itu disebabkan oleh belanja 8 program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yaitu ketahanan pangan; ketahanan energi; makan bergizi gratis (MBG); pendidikan; kesehatan; pembangunan desa, koperasi, dan UMKM; pertahanan semesta; serta percepatan investasi dan perdagangan global.
"MBG saja naik Rp330 triliun. Jadi, memang kenaikan belanja untuk beberapa prioritas pemerintah cukup besar," ujarnya.
Berbeda dengan BPP, yang tumbuh, anggaran transfer ke daerah (TKD) turun sebesar 24,8 persen menjadi Rp650 triliun. Dalam paparannya, dijelaskan bahwa TKD mengalami perubahan yang dinamis menyelaraskan kebijakan fiskal nasional dan mendorong kemandirian fiskal daerah.
Dengan besaran pendapatan dan belanja negara, defisit RAPBN 2026 mencapai Rp636,8 triliun atau 2,48 persen PDB. Pembiayaan anggaran ditetapkan dengan nominal yang sama, yang akan dicapai dengan mengendalikan rasio utang dan mendorong efektivitas pembiayaan investasi.
Adapun keseimbangan primer diproyeksikan defisit 64,2 persen atau Rp39,4 triliun. Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang.
Dengan surplus keseimbangan primer, maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja, dan utang.
"Keseimbangan primer kami harapkan makin mendekati nol atau balance," tambah Sri Mulyani.
Menkeu memastikan seluruh program prioritas sudah masuk dalam perhitungan RAPBN 2026, kecuali yang dilakukan oleh BPI Danantara secara terpisah.
"Oleh karena itu, kami akan terus menjaga agar APBN tetap bisa sehat," tuturnya.
sumber : Antara