PEMERINTAH kembali mengangkat wacana reformasi mendasar dalam sistem penggajian Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah berencana menerapkan pola penggajian tunggal atau single salary.
"Hal lain yang akan dilakukan pada periode jangka menengah adalah penataan proses bisnis dan kelembagaan pembangunan, transformasi manajemen ASN, transformasi kesejahteraan, dan sistem penggajian tunggal," demikian tulis pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan bersama RAPBN 2026.
Dikutip dari asninstitute.id, single salary dapat dipahami sebagai sistem penggajian di mana ASN, baik PNS maupun PPPK hanya memperoleh satu bentuk pendapatan. Skema ini menyatukan berbagai komponen yang sebelumnya diberikan terpisah, seperti gaji pokok, tunjangan kinerja, hingga tunjangan kemahalan menjadi satu paket penghasilan.
Tujuan utama penerapannya ialah menyederhanakan struktur gaji, meningkatkan keterbukaan, serta menciptakan sistem yang lebih adil dengan menekankan pada kinerja.
Gagasan mengenai single salary PNS pertama kali muncul melalui Civil Apparatus Policy Brief BKN pada 2017 dan kini kembali ditegaskan dalam RPJPN 2025–2045.
Adapun mekanisme atau skema single salary bagi ASN terletak pada penerapan sistem pemeringkatan atau grading.
Dalam mekanisme ini, besaran gaji tidak semata ditentukan oleh pangkat maupun golongan, melainkan oleh “nilai” dari suatu jabatan. Nilai jabatan tersebut ditetapkan melalui evaluasi dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting, seperti:
- Beban kerja, yaitu tingkat kesulitan dan kompleksitas tugas yang dijalankan.
- Tanggung jawab, yaitu seberapa besar kewenangan dan kewajiban yang melekat pada posisi tersebut.
- Risiko pekerjaan, potensi risiko yang harus dihadapi dalam menjalankan tugas.
Melalui sistem grading, seorang PNS yang menduduki jabatan sama bisa saja menerima gaji yang berbeda. Perbedaan itu akan bergantung pada kinerja serta bobot pekerjaan masing-masing, sehingga tercipta sistem yang lebih adil sekaligus mendorong budaya meritokrasi.
Decylia Eghline berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Cara Agar DPR Tak Menjadi Beban Negara