Api di Jalanan: Melampaui Narasi Penjarahan, Mencari Akar Kemarahan

2 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh : Dr Devie Rahmawati, CICS (Universitas Indonesia)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayangkan sepotong kayu kering. Lalu sebuah percikan api menyentuhnya. Apa yang terjadi? Kobaran api. Tapi sungguh naif jika kita hanya menyalahkan percikan api itu. Yang perlu kita tanyakan adalah: mengapa tumpukan kayu kering itu sampai ada di sana?

Inilah analogi yang tepat untuk memahami fenomena penjarahan yang kerap mewarnai aksi unjuk rasa. Kita terpaku pada "percikan api"-nya: sekelompok orang yang memecah kaca toko dan membawa pulang televisi. 

Sejarah barat mencatat, bagaimana media  memberitakannya dengan gambar-gambar dramatis, penguasa mengutuknya sebagai "aksi anarkis", dan kita pun mudah menyimpulkannya sebagai kejahatan murni.

Namun, riset-riset akademik mengajak kita untuk melihat lebih jauh, ke ‘tumpukan kayu kering’ yang telah menggunung selama puluhan tahun.

Pada malam yang panas di akhir Agustus 2025, Jakarta bergetar bukan hanya oleh suara teriakan massa di depan DPR, tetapi juga oleh kaca pecah dan pintu yang dibongkar paksa. Di tengah protes menolak privilese wakil rakyat, muncul satu wajah lain dari kerumunan: penjarahan. Pertanyaan pun berulang: mengapa orang menjarah? Apakah ini sekadar kriminalitas? Atau ada pesan yang tak terbaca di balik aksi yang dianggap chaos itu?

Studi ilmiah mencatat, penjarahan bukan fenomena baru. Dari Revolusi Prancis, hingga kerusuhan Watts di Amerika Serikat, penjarahan selalu hadir sebagai bayangan dari protes sosial. Kata “loot” sendiri berasal dari bahasa Hindi lut, artinya merampas, yang dibawa Inggris dalam konteks kolonialisme. Sejak awal, kata itu sudah berbau politik dan kekuasaan.

Riset psikologi sosial menjelaskan, dalam kerumunan besar, norma baru bisa terbentuk hanya dalam hitungan menit. Orang merasa “aman” melakukan sesuatu yang biasanya dianggap tabu karena “semua orang melakukannya” (contagion effect). Dalam situasi chaos, moral pribadi sering larut dalam moral kolektif. Barang di etalase toko yang biasanya sakral, tiba-tiba tampak sah menjadi “milik bersama” untuk diambil.

Kisah Watts: Bukan Sekedar Rusuh

Pada tahun 1965, di Watts, Los Angeles, aksi protes meletus, yang menjadi kerusuhan selama enam hari. Para peneliti sosial menemukan sesuatu yang mengejutkan yaitu perusakan yang terarah. Hampir tidak ada tempat tinggal, sekolah, bangunan publik, perpustakaan atau rumah ibadah yang dirusak. Toko-toko yang pemiliknya dianggap adil, juga terlindungi. Yang dijarah adalah toko-toko, yang pemiliknya dianggap mewakili simbol-simbol ketidakadilan. Credit records (bukti utang piutang), menjadi sasaran pertama yang dihancurkan. Ini bukan kekacauan tanpa desain; ini adalah serangan terorganisir pada simbol penindasan ekonomi.

Apa yang terjadi di Watts menunjukkan bahwa apa yang kita sebut "penjarahan" seringkali adalah bahasa lain dari orang-orang yang tak lagi didengar. Seperti dikatakan Martin Luther King Jr., "Kerusuhan adalah bahasa dari mereka yang tidak didengar."

Mengapa Orang Menjarah? Empat Jawaban yang Berlapis

Riset sistematis di BMC Public Health (2025) dan analisis di The Atlantic (2020) memberikan jawaban yang tidak hitam-putih:

Pertama, sebagai Kebutuhan Darurat (Looting to Meet Needs). Ini yang paling dasar. Bencana atau kerusuhan mengacaukan pasokan. Jika orang lapar, haus, dan tidak ada bantuan yang datang, maka, toko kelontong adalah ‘lumbung terdekat’. Ini adalah naluri bertahan hidup (survive). 

Kedua sebagai wujud Protes Simbolis. Menjarah toko mewah atau franchise asing adalah pesan politik: "Kami menolak sistem ekonomi yang tidak adil ." Ini adalah kritik fisik terhadap kapitalisme. Dalam konteks Indonesia hari ini, menjarah rumah tertentu, bisa jadi adalah bentuk kemarahan terhadap ‘penguasa’ yang dianggap memengaruhi kebijakan.

Ketiga, dampak dari Psikologi Kerumunan (Deindividuation). Dalam kerumunan, identitas individu larut. Seseorang yang biasa pendiam, bisa terbawa emosi kolektif. Mereka bukan lagi "Andi" atau "Budi", tapi bagian dari "massa yang murka".

Yang terakhir ialah Oportunisme Murni. Tidak bisa dipungkiri, selalu ada yang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan pribadi tanpa motif politik. Ini adalah kejahatan kriminal yang memperkeruh suasana.

Lantas, bagaimana Memadamkan "Api" Ini?

Pendekatan keras semata hanya seperti menyiram bensin ke api. Kita perlu strategi yang membabat habis "kayu kering"nya.

Pertama, untuk solusi jangka panjang, perbaiki kesenjangan. Ini akar masalahnya. Pemerataan ekonomi, pemberantasan korupsi, dan akses layanan publik yang merata adalah vaksin terbaik untuk mencegah ledakan sosial.

Kedua, untuk target jangka menengah, perbaiki dan perkuat komunikasi publik. Para pemimpin, harus mampu berempati. Hindari komunikasi sensasional yang memicu kepanikan moral. Dengarkan keluhan masyarakat sebelum berubah menjadi teriakan di jalanan.

Ketiga, aksi jangka pendek dengan tangani krisis dengan cerdas dan cekatan. Saat kerusuhan terjadi, prioritasnya adalah:

  • Keamanan Manusia, Bukan Materi. Evakuasi korban, jaga keselamatan warga.
  • Buka Saluran Bantuan: Segera distribusikan kebutuhan untuk memotong motif "looting to meet needs".
  • Bereaksi terhadap Akar Unjuk Rasa. Tanggapi tuntutan dari para pengunjuk rasa damai, bukan berfokus untuk mengejar para penjarah.

Melihat yang Tak Terlihat

Ketika kita melihat video penjarahan, jangan hanya berhenti pada gambar orang membawa televisi. Lihatlah lebih dalam. Lihatlah rasa marah pada sistem yang membuatnya memecahkan kaca rumah mewah. Dan lihatlah peluang yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengacau.

Memahami kompleksitas ini bukanlah membenarkan, tapi adalah langkah pertama untuk menyelesaikan masalah secara tuntas, bukan sekadar membalutnya dengan ‘perban keamanan’, yang suatu saat akan terbuka lagi. 

Kita tidak perlu memilih antara membela penjarahan atau membela ketertiban. Pilihan kita adalah, antara mengutuk kegelapan atau menyalakan lilin, agar mampu memahami apa yang sedang terjadi di dalamnya.

Read Entire Article