
Komentar soal warna kulit dari keluarga membuatku kehilangan percaya diri, hingga akhirnya belajar menerima dan mencintai diriku sendiri.
Kok kamu makin item, sih? Nggak mau perawatan?"Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir tanteku saat acara keluarga. Spontan, semua mata tertuju padaku. Kulitku yang sawo matang menjadi bahan tontonan dan ledekan di antara sepupu-sepupuku yang berkulit cerah dan glowing.
Aku hanya tersenyum canggung. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat seperti itu sejak kecil.
Masa Kecil yang Dihapus oleh Warna Kulit
Sejak SD, aku tahu bahwa "cantik" di mata keluargaku punya definisi yang sempit: putih, langsing, rambut lurus. Aku gagal memenuhi semua standar itu. Kulitku lebih gelap karena sering main di luar, badanku biasa saja, dan rambutku ikal sejak lahir.
Setiap lebaran tiba, selalu ada perbandingan:
Coba deh kayak sepupumu itu, kulitnya putih bersih. Kamu kalau cewek harus jaga penampilan.”Aku tumbuh bukan dengan rasa bangga, tapi rasa malu. Aku belajar diam, belajar menerima bahwa aku adalah the least favorite girl di keluarga besar.
Aku lantas mencoba "mengubah diri". Mulai dari beli krim pemutih abal-abal, pakai bedak tebal agar tampak "cerahan", sampai coba-coba suntik vitamin C yang kubaca di internet. Tapi semakin aku berusaha menjadi seperti mereka, semakin aku kehilangan diriku sendiri.
Krim-krim ini justru menyerangku balik. Kulitku jadi iritasi, wajahku bruntusan efek zat berbahaya yang terkandung di dalam krim itu. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sekitar 60% produk pemutih kulit di pasaran tidak terdaftar di BPOM dan berpotensi mengandung zat berbahaya seperti merkuri atau hidrokuinon.
Tapi tak ada satu pun yang peduli soal itu, setidaknya di keluargaku. Mereka cuma peduli dengan warna kulitku yang memang lebih cerah dari sebelumnya.
Kamu sekarang lumayan putih, ya. Bagusan begitu.”Aku hanya tersenyum. Luka dalam hati tak kelihatan, tapi dalam.
Titik Balik: Saat Aku Melihat Diriku dengan Mataku Sendiri
Semua berubah saat aku kuliah. Aku bertemu banyak perempuan yang bangga dengan warna kulit mereka. Aku mengikuti komunitas self-love. Perlahan, aku mulai berdamai.
Menurut Laporan Dove Self-Esteem Project ( 2021), 7 dari 10 perempuan muda di Indonesia merasa tidak percaya diri karena standar kecantikan media, termasuk warna kulit.
Aku berhenti memutihkan kulit, dan mulai merawatnya apa adanya. Aku mulai bercermin tanpa rasa ingin menghapus warna kulitku. Aku mulai bilang ke diri sendiri:
Kulit ini membawaku tumbuh. Kulit ini menyimpan banyak cerita. Ia bukan kutukan. Ia rumah.”Aku sadar, kita tidak salah terlahir dengan warna kulit yang tak bisa kita pilih ini. Kita juga tidak kurang hanya karena tak memenuhi standar cantik buatan masyarakat, media, atau keluarga.
Psikolog klinis Adelia Putri, M.Psi menyatakan bahwa penerimaan diri adalah langkah awal yang penting dalam membangun kepercayaan diri dan menghindari dampak jangka panjang dari body shaming (Sumber: Kompas.com, 2022).
Cantik tidak selalu harus putih. Cantik adalah saat kita merawat diri kita dengan rasa hormat. Cantik adalah saat kita menyayangi tubuh yang telah bekerja keras menjaga kita.
Untuk keluargaku yang pernah menghakimi:
Maaf, aku tidak bisa menjadi versi cantik yang kalian inginkan. Tapi aku bisa menjadi versi diriku yang paling utuh."Dan itu, lebih dari cukup.