REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Sekitar 300 ribu orang menerobos hujan deras saat melakukan aksi long march melintasi ikon kota Sydney, Jembatan Sydney Harbour, pada Ahad (3/8/2025). Mereka menyerukan percepatan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza yang saat ini diblokade Israel dan mengecam Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Para pengunjuk rasa meneriakkan, “Netanyahu/Albanese, kalian tak bisa bersembunyi! Hentikan dukungan terhadap genosida!” sambil membawa poster yang menyerukan gencatan senjata dan penghentian kelaparan terhadap anak-anak. Mereka juga membawa berbagai macam atribut pro Palestina dan menabuh panci-panci yang kini menjadi simbol desakan mengakhiri kelaparan akut di Gaza.
“Cukup sudah! Ketika orang-orang dari seluruh dunia berkumpul dan bersuara, kejahatan bisa dikalahkan,” kata Doug, pria berusia 60-an dengan rambut putihnya menerobos hujan deras bersama ratusan ribu orang lainnya, dilansir Reuters.
Otoritas Palestina menyatakan genosida Israel sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 60 ribu orang di Gaza. Sebanyak lebih dari 100 ribu perempuan dan anak-anak Gaza saat ini dinyatakan mengalami kelaparan dan malnutrisi akut.
Penyelenggara aksi menyebut aksi kali ini sebagai “March for Humanity” atau "Aksi untuk Kemanusiaan" dan menjadi simbol pertunjukan demokrasi terbesar. Para peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari lansia hingga keluarga dengan anak kecil. Di antara mereka terlihat pendiri Wikileaks, Julian Assange.
Banyak yang membawa payung, mengibarkan bendera Palestina, dan meneriakkan “Kita semua adalah Palestina!”
Polisi negara bagian New South Wales menyatakan ada sekitar 90 ribu orang hadir dalam aksi tersebut. Namun penyelenggara aksi, Palestine Action Group Sydney, dalam sebuah unggahan Facebook menyebutkan jumlah peserta bisa mencapai 300 ribu orang.
Pekan lalu, polisi New South Wales dan perdana menteri negara bagian tersebut berusaha mencegah aksi ini berlangsung di atas jembatan yang menjadi simbol kota sekaligus jalur transportasi utama, dengan alasan kekhawatiran keselamatan dan gangguan lalu lintas. Namun, Mahkamah Agung negara bagian memutuskan pada hari Sabtu bahwa aksi tersebut boleh dilaksanakan.
Wakil Komisaris Polisi Sementara Peter McKenna mengatakan lebih dari seribu polisi dikerahkan, dan besarnya kerumunan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya desak-desakan.
“Tidak ada yang terluka, tapi ya ampun, saya tidak ingin mengulangi ini setiap hari Ahad dengan persiapan secepat ini," katanya.
Polisi juga hadir di Melbourne, tempat aksi serupa juga berlangsung. Dalam beberapa pekan terakhir, tekanan diplomatik terhadap Israel meningkat. Prancis dan Kanada telah menyatakan akan mengakui negara Palestina, dan Inggris menyatakan akan mengikuti langkah serupa kecuali Israel mengatasi krisis kemanusiaan dan mencapai gencatan senjata.
Perdana Menteri Australia dari Partai Buruh (tengah-kiri), Anthony Albanese, menyatakan mendukung solusi dua negara dan mengatakan bahwa penolakan Israel terhadap bantuan serta pembunuhan warga sipil "tidak dapat dibenarkan atau diabaikan", namun hingga kini belum mengakui negara Palestina.
Therese Curtis, seorang peserta aksi berusia 80-an, mengatakan ia merasa memiliki hak asasi dan hak istimewa karena mendapatkan layanan kesehatan yang baik di Australia.
“Tapi rakyat Palestina rumah sakitnya dibom, mereka ditolak hak dasar atas perawatan medis, dan saya ikut aksi ini khusus untuk menyuarakan hal itu,” ujarnya.
sumber : Reuters