Pemerintah terus menggenjot program percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dan stunting. Namun, persoalan ini perlu diatasi secara gotong royong. Tak cukup hanya mengandalkan pemerintah pusat, tetapi juga memerlukan keterlibatan pemerintah daerah, pemerintah desa, para penggerak masyarakat, serta pihak swasta.
Ialah Adi Prasetio, seorang warga Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kudus, Jawa Tengah, yang aktif menggaungkan semangat gotong royong dalam pengentasan kemiskinan dan menghidupkan kesadaran pentingnya lingkungan yang sehat melalui Program Sanitasi Terpadu. Upaya ini menjadi salah satu wujud Bakti Pada Negeri.
Program Sanitasi Terpadu merupakan inisiatif Bakti Sosial Djarum Foundation dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang sehat, melalui pembangunan sanitasi aman dan penyediaan akses air minum bersih. Dalam implementasinya, program ini melibatkan pemerintah dan masyarakat.
Doyok, begitu Adi Prasetio dipanggil warga sekitar, adalah penggerak Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Tirta Saras yang dibentuk sebagai implementator program di lapangan. KSM bertugas melakukan pendataan, verifikasi, edukasi, hingga berkoordinasi selama pembangunan sanitasi aman, meliputi jamban, septic tank, dan sambungan rumah PDAM.
Doyok dan tim harus keliling desa mendata rumah-rumah mana yang masih memiliki sanitasi buruk. Pasalnya, masih banyak warga Desa Kesambi yang buang hajat dan mengalirkan kotoran ke sungai karena tak punya jamban dan septic tank kedap.
Jika menilik kondisi geografis dan sejarahnya, Desa Kesambi memang dilewati sejumlah sungai dan warga di sini sejak turun temurun mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupan, termasuk untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Pipa-pipa untuk mengalirkan kotoran dari WC rumah berjejer di sepanjang bantaran sungai.
Kondisi ini lambat laun mempengaruhi kebersihan sungai dan kesehatan warga. Apalagi ketika turun hujan dan air sungai meluap, maka air akan langsung meresap ke sumur-sumur warga. Efeknya, air minum warga terkontaminasi dan berdampak pada kesehatan warga, serta efek jangka panjangnya dapat memicu stunting pada anak.
Berangkat dari kondisi ini, Doyok berjibaku memastikan setiap warga Desa Kesambi paham betul soal sanitasi yang aman dan sehat. Di setiap pertemuan warga, seperti PKK dan pengajian, ia dan anggota KSM getol melakukan edukasi.
“Kita sampaikan sanitasi untuk warga itu sangat dibutuhkan sekali, bukan hanya sekadar kebersihan, tapi air itu penting. Ketika kita membuang tinja di sungai, rata-rata air sumurnya itu dari air sungai, enggak ada PDAM. Jadi perputaran itu (kontaminasi),” ungkap Doyok di Desa Kesambi.
Ia tak menampik upaya ini kerap terbentur dengan pola pikir dan kebiasaan warga pada hal baru, termasuk persoalan pentingnya jamban dan septic tank kedap, serta pengelolannya.
“Penolakan itu banyak. Pemikiran yang satu itu ketika sudah punya septic tank kedap, kita diwajibkan 5-6 tahun menyedot. Itu harus. Terus, warga itu bilangnya ‘saya sudah 40 tahun, 50 tahun, di pinggir bantaran sungai, dibuang di sungai enggak apa-apa, masih sehat’. Itu berat, ketika kita sosialisasi, wah, pada bantah,” cerita Doyok soal kondisi awal-awal sosialisasi Sanitasi Terpadu pada 2024.
Program Sanitasi Terpadu memang baru berjalan 1 tahun di Kudus dengan 564 sanitasi aman dan 11 sambungan rumah PDAM yang selesai dibangun pada 2024. Desa Kesambi menjadi salah satu desa yang mendapat bantuan program ini, dengan jumlah 89 sanitasi aman pada 2024 dan target 250-300 pada 2025.