REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kanker serviks hingga kini masih menjadi ancaman serius bagi perempuan di Indonesia. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus (HPV) yang menular baik melalui hubungan seksual maupun nonseksual.
“HPV tidak hanya ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi juga bisa melalui oral, anal, bahkan dari ibu ke bayi saat proses persalinan. Selain itu, alat medis yang tidak steril juga dapat menjadi media penularan,” kata dokter spesialis penyakit dalam dr Anshari Saifuddin Hasibuan, Sp.PD saat konferensi pers Vaksinasi HPV di Jakarta pada Rabu (27/8/2025).
HPV terbagi menjadi tipe risiko rendah yang (low risk) menyebabkan kutil kelamin, dan tipe risiko tinggi (high risk) yang dapat memicu kanker. Pada perempuan, HPV berisiko menyebabkan kanker serviks, vagina, dan vulva. Sementara pada laki-laki, HPV dapat menimbulkan kanker penis, anus, hingga orofaring.
Di Indonesia, kanker leher rahim atau serviks tercatat sebagai kanker terbanyak kedua pada perempuan, dengan 36 ribu kasus baru dan 21 ribu kematian setiap tahunnya. Data Globocan 2020 juga mencatat, ada 100 kasus baru kanker serviks setiap hari, dengan 57 perempuan meninggal setiap harinya.
Untuk menekan angka tersebut, vaksinasi HPV dinilai menjadi langkah penting. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) mendorong kegiatan vaksinasi HPV sebagai salah satu program nasional.
Sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2023 dan 2020, vaksin HPV bisa diberikan pada anak perempuan mulai usia 9–14 tahun. Untuk dewasa, PAPDI menetapkan vaksinasi dapat dimulai pada usia 19 tahun.
Walaupun dalam beberapa kondisi HPV bisa hilang dengan sendirinya dalam kurun waktu dua tahun, namun beberapa juga bisa berlangsung lebih lama dan menyebabkan kanker. Oleh karena itu PAPDI menyarankan untuk melakukan vaksinasi HPV yang bisa membantu tubuh melawan infeksi selama 14-15 tahun.
Menurut Ketua Satgas Imunisasi Dewasa PP PAPDI, dr Sukamto Koesnoe, pencegahan primer melalui vaksinasi HPV terbukti efektif menurunkan insidensi kanker serviks hingga 90 persen. Sementara pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemeriksaan Pap smear, IVA test, maupun HPV DNA test.
“Vaksinasi dan screening perlu berjalan beriringan. Jika edukasi, kesadaran, dan akses masyarakat meningkat, angka kematian akibat kanker serviks bisa kita tekan,” ujarnya.
Kanker serviks dianggap menjadi suatu keadaan yang nyata dan menakutkan bagi PAPDI, karena banyaknya data yang menunjukkan vitalnya penyakit ini yang berujung kepada kematian. Harapannya masyarakat bisa lebih menyadari betapa pentingnya kesehatan.
“Kita harus bisa membangun awareness bahwa penyakit yang disebabkan karena HPV ini tidak main main,” ujar dr Soekamto.
Vaksinasi ini menjadi hasil dari kekhawatiran para spesialis penyakit yang tidak hanya bertujuan untuk menyembuhkan penyakit, tetapi juga mencegah. “Kami para spesialis penyakit dalam tidak hanya bertujuan untuk menyembuhkan, tapi juga untuk mencegah, karena mencegah lebih baik dari mengobati. Salah satunya adalah dengan program vaksinasi,” ujar Ketua Umum PP PAPDI, Dr dr Eka Ginanjar, SpPD.