
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel menyoroti ketiadaan regulasi yang memadai sebagai penyebab utama berbagai persoalan yang dialami oleh para pengemudi ojek online (ojol).
Noel menilai selama ini belum ada aturan yang jelas dan tegas untuk mengatur keberadaan ojol. Sehingga permasalahan di sektor ini, termasuk tarif terus berlarut.
Noel mengungkapkan beberapa negara di Eropa sudah mampu mengikuti perkembangan zaman dengan menetapkan regulasi untuk sektor ekonomi digital. Sementara itu, Indonesia masih tertinggal dalam hal penyusunan aturan serupa.
“Kemarin kita lihat puluhan tahun problem driver ojek online dan sebagainya, itu tidak teratasi karena kenapa? Tidak ada regulasi yang pasti,” ucap Noel saat acara Dewas BPJS Menyapa Indonesia di Auditorium BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7).
Noel berpandangan pemerintah lebih banyak fokus pada regulasi yang justru cenderung menekan kelompok tertentu, alih-alih menyusun aturan yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi para pengemudi transportasi online.

“Saya melihatnya negara kosong, negara sibuk berbisnis dengan dirinya, negara sibuk memperkenal dirinya seperti ormas, yang sibuk hanya membuat regulasi-regulasi yang ujungnya hanya untuk apa? Meras,” tutur Noel.
Noel berharap semua pihak yang terkait bisa bekerja sama demi kepentingan para ojol. “Jadi, semoga ke depan ini kita bisa saling kolaborasi ya,” tuturnya.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Transportasi Online yang Adil dan Berkelanjutan' pada Kamis (24/7), dengan menghadirkan ekonom, praktisi, perwakilan konsumen, perusahaan aplikasi, hingga komunitas mitra ojol.
Dua topik yang menjadi bahasan FGD tersebut adalah kajian kenaikan tarif ojol dan besaran angka bagi hasil atau komisi antara yang diterima mitra driver dan perusahaan aplikasi.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai usulan sebagian pihak yang meminta besaran bagi hasil atau komisi ojol yang ditetapkan sebesar maksimal 20 persen, kemudian diminta diturunkan menjadi 10 persen itu, dinilai berisiko bagi semua ekosistem, salah satunya driver ojol.
“Apa pun solusi yang dikeluarkan, harus mempertimbangkan kepentingan seluruh stakeholder, yaitu konsumen, driver, pemerintah dan aplikator. Pembahasan harus komprehensif, tidak boleh sepotong-sepotong,” jelas Wijayanto.
Wijayanto mengatakan perlunya regulasi yang menjadi acuan, karena sektor ini akan menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan pekerjaan, dan mengurangi ketimpangan.