Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat vonis mantan Kepala Pusat Krisis Kemenkes, Budi Sylvana, menjadi 4 tahun penjara.
Majelis hakim banding menilai Budi telah melakukan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19.
"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun," demikian amar putusan banding, dikutip Senin (4/8).
Majelis banding terdiri dari Tahsin selaku ketua majelis hakim; serta Margareta Yulie Bartin Setyaningsih dan Agung Iswanto selaku anggota majelis hakim. Putusan diketok pada Kamis (17/7).
Selain pidana badan, Budi juga dihukum membayar denda sebesar Rp 200 juta. Dengan ketentuan apabila tak dibayarkan denda itu akan diganti dengan pidana 4 bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, majelis banding berpendapat hukuman yang dijatuhi terhadap Budi pada pengadilan tingkat pertama belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Selain itu ada faktor lain yang memperberat hukuman Budi.
"Menimbang, bahwa untuk hal-hal yang memberatkan Majelis hakim Pengadilan Tingkat Banding menambahkan bahwa sebenarnya Terdakwa sejak awal pada audit tujuan tertentu Tahap I dan Tahap II sudah mengetahui ada temuan, tetapi Terdakwa tidak melakukan penghentian kontrak, sehingga menimbulkan kerugian negara yang lebih besar," jelas hakim.
Vonis ini lebih berat dari putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Dalam putusan tersebut, Budi sebelumnya divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan.
Dalam kasusnya, Budi bersama-sama dengan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik, merugikan negara hingga Rp 319,6 miliar.
Mereka melakukan perbuatan secara melawan hukum berupa negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan.
Kemudian, para terdakwa juga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak lima juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.
Lalu, ketiga terdakwa juga disebut ikut serta menerima pembayaran terhadap 1,01 juta set APD merek BOHO senilai Rp 711,2 miliar untuk PT PPM dan PT EKI.
Padahal, kata jaksa, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
Tak hanya itu, jaksa juga mengatakan PT EKI dan PT PPM tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kesepakatan negosiasi APD.
Hal itu melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES...