
Komisi III mengundang sejumlah narasumber dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait putusan MK yang memisahkan pemilu. Salah satu yang dihadirkan, yakni advokat sekaligus politikus Partai NasDem Taufik Basari.
Taufik menilai, putusan MK terkait pemisahan Pileg DPRD-Pilkada malah menimbulkan masalah baru. Bahkan bisa jadi dilematis bagi DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
Dalam putusan MK, Pileg DPRD provinsi/kota/kabupaten dan pilkada dilaksanakan paling cepat 2 tahun atau paling lambat 2,5 tahun setelah DPR-DPD dan presiden-wakil presiden dilantik.
"Putusan MK ini menimbulkan satu problem yang dilematis. Dilema dari putusan MK ini sangat krusial dapat mengakibatkan krisis konstitusional atau constitusional deadlock," kata Taufik di ruang Komisi III DPR, Jakarta, Jumat (4/7).
Toba mengatakan, dalam UUD 1945 pasal 22E ayat 1 dan ayat 2 tertulis pemilu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Selain itu, Pemilu yang dimaksud juga merujuk pada pemilihan DPRD dan pemilihan kepala daerah.
Tak cuma itu, dalam Pasal 18 Ayat 3 dan 4 diatur pemerintah daerah itu miliki DPRD. Kepala daerah juga diatur dan dipilih secara diplomatis.
Kemudian, ada Pasal 24c ayat 1 tentang MK yang seharusnya tidak diabaikan hakim Mahkamah Konstitusi.

Dari jajaran aturan itu, Toba menilai, dilema kemudian muncul. Tobas menilai, bila putusan MK dijalankan, berarti tidak melaksanakan perintah UUD 1945 yang mengamanatkan Pileg DPRD dan Pilkada harus dilakukan 5 tahun sekali.
"Dengan putusan ini, DPRD-nya ketika sudah selesai 5 tahun 2024-2029 yang seharusnya perintah konstitusi menyatakan harus pemilu tapi kita, negara ini, melalui pembuat undang-undang membuat satu rumusan justru melanggar perintah konstitusi. Ngeri," ujar dia.
"Sementara pasal 18 ayat 3. Anggota DPRD itu dipilihnya harus lewat pemilu, tidak ada jalan lain," tambah dia.
Di sisi lain, bila putusan MK ini tidak dilaksanakan maka melanggar UUD 1945 pasal 24c ayat 1 yang menyatakan putusan MK bersifat final.
"Ini yang saya betul-betul dilematis, constitusional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau, istilahnya begitu. Harus dicarikan jalan keluarnya," tutur dia.
Untuk DPRD, sejauh ini Tobas hanya punya 2 pilihan yang sejauh ini bisa dilakukan. Pertama masa jabatan anggota DPRD diperpanjang 2 tahun sampai 2,5 tahun sesuai dengan masa yang diberikan MK. Kedua, dibiarkan kosong. Tapi keduanya juga melanggar konstitusi.
"Kalau diperpanjang harus dipilih lewat apa? Penunjukan? Pengangkatan? Semua administratif sehingga perpanjangan dilakukan maka anggota DPRD dalam masa perpanjangan tersebut tidak memiliki legitimasi demokratis karena tidak dipilih rakyat, pemilu. Berbekal administrasi tidak bisa. Tidak ada perintah konstitusi selain pemilu. Tidak ada pintu apa pun DPRD selain pemilu," jelas dia.

Bila dibiarkan kosong juga melanggar konstitusi karena pada pada pasal 18 ayat 2 UUD 1945, pemerintah daerah itu memiliki DPRD.
"Kedua-duanya juga melanggar konstitusi," tegas eks anggota Komisi III DPR itu.
Masalah lain, keputusan MK ini tertuang dalam amar putusan, bukan pertimbangan. Tobas menilai, dengan tertuang dalam amar putusan artinya itu setara dengan undang-undang. Inilah yang menyebabkan putusan ini mengunci dan tak membuka ruang diskusi.
"Itu kan menyatakan jika tidak dengan model seperti ini berarti inkonstitusional atau sebaliknya konstitusinya hanya ini. Di luar itu inkonstitusional. Dampaknya memuat hal tersebut mengunci segala ruang dinamika diskusinya simulasinya. Karena harus sesuai amar. Itu problem," tutur dia.

Namun, Tobas punya pandangan berbeda terkait definisi MK sebagai negative legislator dan positive legislator. Bagi dia, MK boleh saja berperan sebagai positive legislator sepanjang hanya sebatas menjelaskan dan menafsirkan. Batasan penafsiran juga harus jelas dan tidak boleh mengubah.
"Namanya menafsir tidak boleh apa yang jadi dasarnya. a tidak boleh jadi b. a boleh jadi a aksen, a kuadrat tapi a nya tetap ada," kata dia.
Contohnya, soal penggunaan KTP saat pencoblosan. MK memutuskan orang yang tidak terdaftar di DPT bisa datang menggunakan KTP, tapi DPT tidak hilang.
"Tidak boleh misalnya perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 jadi 5. 4 dan 5 itu berbeda sekali. Ini yang terjadi dalam putusan ini. Tafsir yang a jadi b," ucap dia.