
PENELITI pusat makroekonomi dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai perlu dilakukan penggodokan ulang terhadap gaji, tunjangan, dan berbagai komponen pendapatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dorongan ini semakin mendesak di tengah tekanan ekonomi yang dialami masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurutnya, formulasi gaji pejabat legislatif harus jelas, berbasis bobot tugas, kinerja, dan kepatutan, dengan mempertimbangkan keadilan bagi masyarakat serta kemampuan fiskal negara.
“Perlu diformulasikan ulang secara transparan atas gaji dan tunjangan DPR, serta komponen lainnya,” tegas Riza kepada Media Indonesia, Rabu (3/9).
Ia menambahkan, kontribusi setiap komponen penghasilan terutama tunjangan di luar gaji pokok harus dievaluasi secara terbuka. Menurutnya, transparansi penting agar jelas kontribusi setiap komponen terhadap kinerja, termasuk tunjangan maupun berbagai pos di luar gaji pokok.
"Apa kontribusi nyata dari kinerja mereka, sehingga mendapatkan tunjangan begitu tinggi. Kemudian, komponen lainnya yang bukan gaji pokok. Itu perlu transparansi," tegasnya
Riza menuturkan kesenjangan pendapatan DPR dengan masyarakat sangat lebar. Rata-rata upah minimum regional (UMR) pekerja hanya Rp3,7 juta per bulan. Sementara, total gaji dan tunjangan yang diterima anggota parlemen bisa mencapai Rp104 juta per bulan, sekitar 27 kali lipat dibandingkan UMR.
"Ketimpangan pendapatan DPR ini berkali-kali lipat lebih tinggi dibandingkan rata-rata UMR masyarakat," ucapnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mencontohkan, di Selandia Baru, anggaran gaji dan tunjangan anggota parlemen ditetapkan melalui Komite Remunerasi dengan batasan yang jelas. Rata-rata mencapai 2,4 hingga 3,2 kali lebih tinggi dibandingkan pendapatan masyarakat setempat.
"Oleh karena itu, gaji perwakilan rakyat tidak boleh terlalu timpang dengan rata rata upah masyarakat yang diwakili," tegasnya saat dihubungi terpisah.
Menurutnya, penerapan sistem gaji tunggal atau single salary system menjadi penting untuk diterapkan. Dengan model ini, tidak ada komponen tunjangan, hanya satu gaji pokok, sehingga transparansi lebih terjamin dan mekanisme pengawasan lebih mudah dilakukan.
Sementara itu, peneliti departemen politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya menekankan pentingnya transparansi penggunaan anggaran serta akuntabilitas kinerja lembaga perwakilan rakyat. Termasuk di dalamnya kegiatan reses maupun program bersama eksekutif yang harus dijalankan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Ini bisa diwujudkan dengan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada publik. Hal ini tidak sulit dilakukan," dalam Diskusi Publik bertajuk 'Wake up call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita' secara daring, Selasa (2/9).
Lebih jauh, Edbert menegaskan pembenahan DPR penting untuk menghadirkan ekuilibrium sehat dalam kehidupan demokrasi. Sayangnya, fungsi DPR sebagai representasi rakyat semakin bergeser. Dalam beberapa periode terakhir, kecenderungan DPR justru semakin dekat dengan eksekutif. Fenomena ini sering disebut sebagai koalisi gemuk.
"Di mana DPR lebih berperan sebagai stempel kebijakan pemerintah pusat ketimbang menjalankan fungsi check and balances," tuding Edbert.
Akibatnya, DPR disebut bertransformasi menjadi semacam pendukung sistem kekuasaan, alih-alih menjadi pengimbang dalam sistem demokrasi.
Ketika dimintai pendapat mengenai desakan publik untuk mengevaluasi pendapatan anggota DPR, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun enggan berkomentar lebih dalam.
Ia hanya menjawab singkat, “Maaf, saya tidak bisa memberikan komentar dan opini soal pertanyaan tersebut," ucapnya kepada Media Indonesia. (E-4)