REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam senyapnya bilik tahanan, seorang ulama besar asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mendengar gema takbir Idul Adha menggema di seantero dunia. Ia tidak sekadar mendengar, tetapi mengkhayal dan merenungi kedalaman maknanya.
Bagi ulama besar dari Anatolia ini, gema takbir bukan hanya suara ritual, melainkan cerminan ubudiyah (penghambaan) universal yang menyatu dengan manifestasi rububiyah (pemeliharaan) ilahi di alam semesta.
Dalam buku "Cahaya Iman dari Bilik Tahanan" halaman 93-94, Nursi membayangkan seperlima umat manusia atau lebih dari 300 juta Muslim di seluruh penjuru dunia mengucapkan “Allahu Akbar” secara serempak.
Nursi menggambarkan gema takbir itu menjulang, membumbung sebesar dan seluas bumi, seolah-olah bumi sendiri memperdengarkan kalimat suci itu kepada planet-planet lain di jagat raya. Dalam pandangannya, bumi tak lagi diam, ia bersaksi, berseru, dan memaklumkan kebesaran Allah kepada seluruh alam langit.
Nursi juga menyoroti momentum wukuf di Arafah. Di sana, lebih dari 20 ribu jamaah haji mengulang kalimat-kalimat yang dahulu diucapkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat mulia. Dalam kebersamaan itu, ia merasakan adanya kesinambungan sejarah spiritual umat Islam.
Seolah-olah waktu terlipat dan ruang menyatu, ucapan para sahabat di masa lalu bergaung kembali lewat lisan para jamaah masa kini. Ini bukan sekadar pengulangan ritual, melainkan sambungan ruhani lintas zaman yang menunjukkan keabadian makna dan kekuatan syiar.
Gema takbir dan kalimat suci lainnya seperti Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah bagi Nursi bukanlah lafaz kosong. Kalimat-kalimat itu, tulis Nursi, mengandung isyarat dan pengingat terhadap keberadaan akhirat.
Mereka adalah bahasa fitrah yang menunjuk pada kehidupan abadi setelah dunia. Ada hubungan erat antara kalimat-kalimat tersebut dengan alam akhirat, baik secara parsial dalam peribadatan pribadi, maupun secara universal dalam makna yang melampaui batas-batas dunia fisik.
Melalui renungan ini, Nursi ingin menunjukkan bahwa dzikir-dzikir tersebut bukan hanya pengingat bagi manusia, tetapi juga bagian dari orkestrasi besar semesta dalam menyatakan penghambaan kepada Tuhan yang Maha Besar. Takbir dan syiar Islam bukan hanya milik pribadi atau kelompok, melainkan gema universal yang menjangkau langit dan akhirat.
Di tengah keterasingannya, Nursi justru menemukan kehadiran Tuhan dalam gema suara umat yang bertakbir. Ia melihat Idul Adha bukan sebagai hari raya biasa, tetapi sebagai momen puncak pernyataan ubudiyah umat manusia kepada Sang Pencipta. Dan dari ruang sempit tahanan, ia menyaksikan keluasan makna takbir yang melampaui batas bumi.