Menteri Keuangan Sri Mulyani menyiapkan sejumlah stimulus untuk mendorong pemulihan sektor manufaktur nasional pada paruh kedua 2025. Stimulus akan difokuskan pada industri padat karya dan diarahkan untuk memperkuat sisi suplai serta menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif.
Kebijakan ini mencakup pemberian fasilitas pembiayaan, optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hingga percepatan deregulasi.
“Respons kebijakan terkait perdagangan global disiapkan, mengantisipasi munculnya berbagai risiko tekanan. Implementasi kebijakan yang tepat sasaran diyakini mampu menjaga stabilitas produksi, memperkuat daya saing ekspor, serta mendukung kesinambungan pemulihan dan ketahanan ekonomi nasional,” kata Febrio Kacaribu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu dalam keterangan resminya, Minggu (3/8).
Langkah ini diambil setelah Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan perbaikan pada Juli 2025, meskipun masih berada di zona kontraksi. PMI naik menjadi 49,2 dari 46,9 pada Juni 2025. Kenaikan ini menandakan pelemahan aktivitas produksi dan permintaan mulai mereda.
Di sisi lain, beberapa negara di kawasan justru mengalami pelemahan lebih dalam. PMI manufaktur Jepang turun ke level 48,9 dari sebelumnya 50,1, sementara Korea Selatan melemah ke 48,0 dari 48,7. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap sektor manufaktur global belum sepenuhnya mereda.
Kabar baik datang dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump pada 31 Juli 2025 menandatangani Executive Order yang menurunkan tarif impor terhadap produk asal Indonesia menjadi 19 persen, dari sebelumnya 32 persen. Sejumlah produk ekspor nasional, terutama dari sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur, juga mendapatkan pengecualian tarif.
Barang-barang yang telah dalam proses pengiriman sebelum kebijakan berlaku juga tidak terdampak. Kebijakan ini membuka peluang ekspor lebih luas ke pasar AS dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
“Pemerintah terus mengantisipasi dengan langkah terukur untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik. Seluruh kebijakan dirancang agar aktivitas dunia usaha nasional tetap tangguh menghadapi guncangan global, dengan daya saing ekspor yang terus meningkat, disertai daya beli masyarakat yang tetap terjaga,” tambah Febrio.
Meski ada tekanan dari sisi harga, pemerintah berupaya menjaga stabilitas inflasi. Inflasi Juli 2025 tercatat sebesar 2,37 persen (yoy), naik dari 1,87 persen pada Juni. Kenaikan ini dipicu oleh lonjakan harga komoditas pangan seperti beras, cabai rawit, bawang merah, dan tomat akibat cuaca buruk dan berakhirnya musim panen.
Inflasi Administered Price (AP) tetap stabil di 1,32 persen (yoy) karena harga energi bersubsidi masih terjaga. Sementara itu, inflasi inti sedikit melambat menjadi 2,32 persen (yoy), didorong penurunan tekanan harga pada layanan rekreasi, makanan-minuman, dan perawatan pribadi. Inflasi kelompok pendidikan naik seiring dimulainya tahun ajaran baru.
Untuk merespons kenaikan harga beras, pemerintah mengaktifkan kembali program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sejak awal Juli. Intervensi juga dilakukan lewat operasi pasar, pengawasan distribusi, cadangan pangan, dan gerakan pangan murah.
Dari sektor eksternal, ekspor Indonesia tetap menunjukkan kinerja solid. Neraca perdagangan mencatat surplus sebesar USD 4,10 miliar pada Juni 2025, meningkat dari USD 2,52 miliar pada bulan yang sama tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekspor mencapai 11,29 persen (yoy), terutama ditopang oleh industri pengolahan dan pertanian. Sementara itu, impor tumbuh 4,28 persen (yoy), didorong peningkatan barang modal yang mencerminkan membaiknya aktivitas manufaktur.