Di dunia yang modern dan dinamis seperti sekarang, hustle culture atau budaya kerja keras telah menjadi gaya hidup mayoritas orang dewasa. Banyak individu, terutama generasi milenial, yang dibesarkan dengan mentalitas untuk terus bekerja demi menggapai sukses.
Dikutip dari Forbes, kehidupan hustle yang dianggap wajar rupanya bikin banyak orang mengabaikan kesehatan fisik dan mental. Padahal, pekerjaan nggak seharusnya membuat seseorang mengalami sakit-sakitan atau stres.
Kesadaran tentang pentingnya kesehatan fisik dan mental membuat orang-orang mulai ramai meninggalkan hustle culture dan beralih ke kehidupan soft living.
Menurut survei KeyBank 2024, sebanyak 36% responden mengaku lebih suka mendefinisikan kesuksesan melalui perspektif soft life, yakni kehidupan yang mengutamakan kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Sementara itu, hanya ada 28% responden yang mengukur kesuksesan dari kekayaan, status, dan prestasi.
Tren soft living atau hidup santai juga semakin dilirik oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak member teman kumparan yang udah mulai menerapkan gaya hidup tersebut. Kira-kira, seperti apa pandangan mereka terhadap fenomena soft living?
Fenomena Soft Living di Mata teman kumparan
Member teman kumparan Andra mendefinisikan soft living sebagai kehidupan yang santai dan nggak memaksakan diri untuk terus produktif. Fokusnya adalah kualitas hidup, bukan cuma pencapaian, prestasi, atau hal-hal materil lainnya.
Andra tertarik menjalani soft living karena dulunya gampang burnout. “Setelah coba pelan-pelan menerapkan soft living, saya merasa lebih bahagia dan fokus,” akunya.
Tentunya Andra gak langsung menjalani hidup dengan slow 100%. Prosesnya dilakukan perlahan, mulai dari bangun pagi tanpa buru-buru, membangun kebiasaan ngopi sambil baca buku, hingga membatasi lembur.
Bukan cuma pekerja seperti Andra yang menjalani soft living, tapi juga ibu rumah tangga seperti teman kumparan Rani. Bagi perempuan 30 tahun itu, soft ...