
Serangan militer Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran memicu kekhawatiran serius terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Lonjakan harga minyak mentah dunia sebagai imbas dari konflik ini berisiko mengoyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disusun dengan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) hanya sebesar USD 82 per barel.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan jika konflik terus memanas, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel. Bahkan berisiko mencapai USD 130 apabila Iran memutuskan menutup Selat Hormuz yakni jalur strategis yang mengalirkan sekitar 20 persen pasokan minyak global.
Alhasil, dampaknya ke APBN bisa sangat signifikan. Josua menyebut, setiap kenaikan USD 1 di atas asumsi APBN 2025 diperkirakan menambah beban belanja negara hingga Rp 10 triliun, sementara tambahan penerimaan dari sektor migas hanya sekitar Rp 3 triliun. Artinya, untuk setiap USD 1 kenaikan harga minyak, defisit anggaran melebar Rp 7 triliun. Jika harga menyentuh USD 130, total pelebaran defisit bisa mencapai lebih dari Rp 330 triliun dari baseline.
Defisit anggaran akan memburuk sekitar Rp 7 triliun untuk setiap kenaikan USD 1 di atas asumsi APBN,” kata Josua kepada kumparan, Minggu (22/6).
Pemerintah, menurut dia, perlu menyiapkan opsi respons fiskal, termasuk kemungkinan revisi APBN, peningkatan pembiayaan defisit, atau pemotongan belanja lain yang bersifat tidak prioritas. Dengan tekanan harga energi yang tinggi, subsidi energi juga bisa membengkak dan mempersempit ruang fiskal untuk program pembangunan lain.
Kekhawatiran serupa diungkapkan Ekonom INDEF, Eko Listyanto. Ia menyebut, efek langsung keterlibatan militer AS dalam konflik Iran adalah kenaikan harga minyak global, yang berpotensi mendorong inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Bagi Indonesia sebagai negara pengimpor minyak, lonjakan harga ini akan memperberat beban fiskal. Belanja negara yang sudah terbatas bisa terganggu, dan pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan subsidi dan defisit membengkak, atau memangkas belanja negara agar bisa menyesuaikan tekanan global.
Eko juga menyoroti pentingnya pemerintah menyiapkan skenario mitigasi, khususnya jika harga minyak tembus jauh di atas asumsi makro APBN.
“Pemerintah perlu menyiapkan skenario respons kebijakan jika minyak tembus di atas asumsi makro APBN,” kata Eko.
Selain menekan fiskal, tekanan terhadap nilai tukar juga bisa memperparah beban anggaran, karena pelemahan rupiah akan menaikkan biaya impor, termasuk untuk bahan bakar dan energi.
Harga Minyak Bisa Tembus USD 130 per Barel
Harga minyak mentah diprediksi terus melonjak hingga USD 130 per barel di tengah eskalasi konflik di Timur Tengah, terutama usai Amerika Serikat (AS) mengikuti Israel menyerang fasilitas nuklir di Iran.

Dikutip dari Reuters, Minggu (22/6), serangan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump di situs media sosial Truth Social tersebut memperdalam keterlibatan AS dalam konflik di Timur Tengah.
Kekhawatiran utama pasar akan berpusat pada kenaikan harga minyak mentah dan inflasi. Para investor telah mempertimbangkan sejumlah skenario pasar yang berbeda sejak akhir pekan ini.
Sebelum serangan AS pada Sabtu, analis di Oxford Economics memodelkan tiga skenario, termasuk deeskalasi konflik, penghentian total produksi minyak Iran, dan penutupan Selat Hormuz. Masing-masing dengan dampak yang semakin besar pada harga minyak global.
Dalam kasus yang paling parah, harga minyak dunia bisa melonjak hingga sekitar USD 130 per barel, yang mendorong inflasi AS mendekati 6 persen pada akhir tahun ini, kata Oxford dalam catatan tersebut.
"Meskipun guncangan harga pasti melemahkan belanja konsumen karena pukulan terhadap pendapatan riil, skala kenaikan inflasi dan kekhawatiran tentang potensi efek inflasi putaran kedua kemungkinan akan merusak peluang penurunan suku bunga di AS tahun ini," kata Oxford dalam catatan tersebut.