
Ada seorang anak bernama Dira yang datang kepada gurunya dengan wajah rapi, suara sopan, dan mata yang—entah bagaimana—seperti menyimpan ketegangan halus yang tak selesai sejak pagi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Pak, boleh nggak nilainya diganti jadi seratus?"
Gurunya terdiam. Bukan karena tidak bisa menjawab, tapi karena tidak siap menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak sedang mempertanyakan angka. Dira sudah mendapat nilai 96. Angka yang oleh banyak anak mungkin akan dirayakan. Tapi tidak oleh Dira. Ia diam-diam mengutuk empat angka yang hilang itu. Empat angka yang membuatnya tidak boleh bermain hari itu.
Kata Dira, ayahnya bilang kalau bukan seratus, artinya belum cukup berusaha.
Setiap zaman punya caranya sendiri memahat luka. Ada anak-anak yang dibesarkan dengan luka kelaparan, ada yang dengan luka kehilangan, dan ada yang seperti Dira, dibesarkan dengan luka kesempurnaan. Seolah hidup ini adalah soal pilihan ganda yang hanya punya satu jawaban benar: nilai seratus.
Dan barangkali yang paling mengerikan dari luka semacam itu bukan karena ia menyakitkan, tapi karena ia diam. Terbungkus dalam kerapian seragam sekolah, dalam ketekunan mencatat di buku, dalam senyum sopan yang tak sedikit pun membocorkan air mata di baliknya.
Anak seperti Dira mungkin tumbuh menjadi orang yang tidak pernah bisa merasa cukup. Nilai tinggi hanya membuatnya takut kehilangan capaian berikutnya. Pujian menjadi candu, bukan ketenangan. Dan bermain, sesuatu yang seharusnya jadi hak anak-anak, berubah jadi hadiah yang mahal.
Di banyak rumah, anak-anak dilatih menjadi mesin—bukan karena orang tuanya jahat, tapi karena dunia sering terlalu berisik tentang sukses, dan terlalu pelit membicarakan rasa cukup. Dunia senang mencetak orang-orang unggul, tapi sering lupa bertanya apakah mereka juga bahagia.
Di meja makan, ayah mungkin lebih tertarik bertanya, “Berapa nilai matematikamu?” daripada, “Apakah kamu merasa dicintai hari ini?”
Dan barangkali itu bukan kesalahan personal, tapi budaya yang terus diwariskan tanpa sempat dievaluasi. Budaya yang membuat anak-anak mengejar angka tanpa sempat mengenal dirinya sendiri.
Saya punya seorang anak perempuan yang baru masuk SD. Waktu masih di TK, hampir setiap akhir semester namanya dipanggil ke depan: mendapat ranking, piagam, dan pernah juga dinobatkan sebagai siswa teladan saat wisuda. Tapi jujur saja, semua itu tidak pernah benar-benar saya anggap penting.
Yang saya perhatikan bukan seberapa tinggi nilainya, tapi apakah ia tumbuh menjadi anak yang tahu cara meminta maaf dengan tulus, tahu bagaimana memperlakukan temannya dengan baik, dan tidak canggung mengucapkan ‘terima kasih’ atau ‘maaf’ tanpa merasa direndahkan.
Saya tidak terlalu peduli jika suatu hari nilainya di sekolah turun—saya jauh lebih khawatir jika akhlaknya ikut jatuh. Karena buat saya, yang paling menenangkan adalah melihatnya tumbuh dengan hati yang bersih, bukan dengan beban untuk selalu jadi sempurna.
“Anak-anak tidak dilahirkan untuk membuat orang tuanya bangga. Mereka dilahirkan untuk menjadi diri mereka sendiri.”Kalimat sederhana dari seorang teman tersebut terasa seperti tamparan bagi siapa pun yang pernah mengukur harga diri anak dari buku rapor. Karena pada akhirnya, tidak ada yang akan ingat berapa nilai fisika saat kelas lima. Yang akan diingat adalah apakah ia merasa cukup dicintai meskipun nilainya tidak sempurna.
Di masa kecil, ada anak laki-laki yang sangat suka main layangan. Ia rela pulang sekolah langsung lari ke lapangan, makan seadanya, dan menghabiskan waktu berjam-jam mengejar angin. Nilainya biasa-biasa saja. Gurunya bilang ia kurang fokus. Tapi di matanya ada cahaya yang hanya menyala ketika benang layangan menyentuh langit.
Bertahun-tahun kemudian, anak itu tidak tumbuh menjadi ilmuwan atau insinyur. Tapi ia tahu cara menghargai angin. Ia tumbuh jadi orang yang tidak takut gagal, karena baginya dunia bukan soal menang atau kalah, tapi tentang bagaimana menikmati terbang dan jatuh dengan lapang dada.
Barangkali itulah yang disebut pendidikan sejati. Pendidikan yang tidak melulu soal nilai, tapi soal cara menghadapi hidup.
Setelah kejadian itu, guru Dira mulai membuat kebijakan baru. Setiap ulangan bukan hanya tentang angka, tapi juga perasaan. Setiap siswa menulis jurnal refleksi: “Apa yang ingin kau katakan pada dirimu hari ini?”

Dan dari situ, terlihat jelas bahwa banyak anak yang nilai ulangan bukan hanya soal benar atau salah, tapi tentang takut atau lega. Tentang ekspektasi, bukan hanya pengetahuan.
Sejak saat itu, guru itu tak lagi sekadar membagi nilai. Ia membagi ketenangan. Ia menenangkan anak-anak yang takut pulang karena nilai 98 dianggap gagal. Ia membisikkan pada mereka, "Kamu tidak harus menjadi sempurna untuk layak dicintai."
Boleh jadi, dunia ini penuh dengan orang-orang dewasa yang sedang menyembuhkan luka dari masa kecilnya. Luka karena tidak pernah merasa cukup, karena hidupnya diukur dari angka, bukan dari makna. Luka karena tidak pernah diberi izin untuk bermain, untuk salah, untuk menangis, untuk istirahat.
Maka hari ini, jika ada anak kecil datang membawa nilai 96 dengan wajah cemas, jangan buru-buru menyuruhnya belajar lebih giat. Duduklah di sampingnya. Katakan bahwa ia telah cukup, bahkan saat tidak sempurna.
Karena siapa pun yang tumbuh dengan rasa cukup, akan tumbuh menjadi orang yang utuh.
Dan mungkin itu yang paling dibutuhkan dunia hari ini: manusia yang tahu bahwa hidup bukan tentang mencapai angka tertinggi, tapi tentang menjadi diri sendiri yang baik, yang tulus, dan yang berani berkata, “Saya sudah cukup, meskipun bukan seratus”.