REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON--Dunia pendidikan di Kota Cirebon kembali tercoreng dengan adanya kasus edit foto asusila dengan menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) yang menimpa sejumlah siswi. Terduga pelakunya merupakan siswa dari dua SMA favorit di Kota Cirebon.
Dalam kasus itu, foto wajah para korban dipasangkan ke foto tubuh perempuan lain yang berpenampilan terbuka dan mengarah pada pornografi. Kasus itu mulai mencuat pada Jumat (22/8/2025) dan langsung menyedot perhatian publik.
Sejauh ini ada tiga terduga pelaku dalam kasus tersebut. Sedangkan korbannya diperkirakan mencapai puluhan siswi.
Menanggapi kasus itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Cirebon melakukan pertemuan dengan perwakilan sekolah beserta keluarga terduga pelaku dan korban, Senin (25/8/2025). Suasana tegang mewarnai pertemuan itu, terutama antara keluarga korban dan keluarga terduga pelaku.
Salah seorang ibu korban mengatakan, mereka sangat terpukul dengan adanya kasus tersebut. Mereka juga tidak terima dengan perbuatan para terduga pelaku terhadap anak-anak mereka.
“Yang paling penting itu mental. Bukan cuma mental orang tua saja, tapi mental anak kita kena. Anak kami juga punya masa depan. Kita semua ini dari orang tua korban tidak terima karena jejak digital sampai matipun tetap ada,” katanya.
Seorang ibu korban yang lain bahkan mendekati langsung ayah dari seorang terduga pelaku. Ia pun meluapkan emosinya. “Tega! (Kalau) anak bapak perempuan digituin gimana perasaannya? Jahat, Pak! Dzolim!,” katanya.
Sejumlah orang yang ada di lokasi itu berusaha menenangkan sang ibu. Sang ibu yang berkerudung hitam itu kemudian pingsan karena tak kuasa menahan kesedihannya.
Sedangkan H, yang merupakan ayah dari salah satu terduga pelaku, tak banyak berkata-kata. Dia hanya memohon maaf kepada ibu korban atas perbuatan anaknya. Ia juga berharap agar kasus tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
“Saya tidak membela anak saya dan tidak membenarkan semua yang terjadi. Sebagai seorang bapak, saya berharap ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena bagaimanapun juga, anak saya masih punya harapan dan anak-anak kita juga bisa melanjutkan kehidupannya. Dan saya juga mengharap korban bisa memafkan apa yang telah dibuat oleh anak saya,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh Dwi Angga selaku kuasa hukum dari dua terduga pelaku lainnya. Ia menyatakan, kliennya juga memohon maaf kepada keluarga korban dan berharap agar kasus itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. "Saya selaku kuasa hukum mewakili keluarga (terduga pelaku) menyesali perbuatan (terduga pelaku) yang menimpa para korban. Permintaan maaf sedalam-dalamnya atas apa yang terjadi oleh para korban atas apa yang disebabkan perilaku atau kehilafan oleh ananda (terduga pelaku),” paparnya.
Sementara itu, menanggapi permintaan keluarga terduga pelaku, para keluarga korban menegaskan tetap akan melanjutkan langkah hukum dengan melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. “Keluarga korban secara pribadi sudah memberikan maaf. Namun, biarkan proses hukum tetap berlanjut. Dengan kita lakukan pelaporan ini juga nanti untuk efek jera bagi yang lain bahwa perbuatan ini tidak boleh dilakukan walaupun masih dibawah umur,” ujar kuasa hukum dari dua siswi yang menjadi korban dalam kasus itu, Raden Reza Pramadia.
"Untuk korban yang saya tangani masih trauma, belum mau sekolah," imbuhnya.
Hal senada diungkapkan kuasa hukum dari lima korban, Sharmila. Ia menegaskan, meski memaafkan, namun pihaknya akan tetap membuat laporan resmi ke Polres Cirebon Kota. "Dari pihak keluarga para korban sih sudah memaafkan. Tapi dari segi perbuatan, seandainya, perbuatan ini tidak terungkap, apakah mereka menyesalinya? Kan tentu tidak, terus akan berbuat, berulang, mumpung gak ada yang tahu. Jadi (pihak keluarga korban) tetap akan membuat laporan ke polisi," katanya.
Kepala DP3AP2KB Kota Cirebon, Suwarso Budi mengatakan, pihaknya bersama instansi terkait telah melakukan koordinasi dengan Polres Cirebon dan unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) guna mencari solusi terbaik.
"Kami menekankan bahwa layanan perlindungan diberikan baik kepada anak korban maupun anak yang diduga sebagai pelaku. Apa pun keputusannya, harus berpijak pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Anak-anak ini masih punya masa depan yang panjang, jangan sampai menyisakan trauma-trauma yang tidak produktif bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang,” katanya.