
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keyakinannya bahwa Indonesia akan segera menghentikan impor jagung. Ia bahkan menyebut bahwa produksi dalam negeri sudah cukup kuat hingga memungkinkan untuk mulai melakukan ekspor komoditas tersebut.
Ekonom Pangan dan Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkapkan bahwa Indonesia sejatinya sudah swasembada jagung, bahkan sampai saat ini masih mengalami surplus.
Eliza merinci, produksi jagung dalam negeri saat ini mencapai 16 juta ton, sementara kebutuhan nasional hanya sekitar 14,8 juta ton. Namun, ia menyoroti adanya paradoks dalam produksi jagung nasional saat ini.
“Produktivitas per hektarnya itu meningkat, nah tapi produksi total menurun akibat penyusutan luas panen,” ucap Eliza saat dihubungi kumparan, Selasa (10/6).
Oleh karena itu, dia menilai ada beberapa langkah besar yang perlu dilakukan Indonesia agar swasembada jagung benar-benar bisa terwujud secara berkelanjutan.
Pertama, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas jagung yang mendekati standar internasional. “(Standar internasional) dengan cara dukung penuh R&D di dalam negeri, bangun ekosistem riset yang mumpuni dan terintegrasi hingga ke petani,” tegas Eliza.
Eliza juga menekankan bahwa untuk memperluas atau mempertahankan luas panen, pemerintah perlu memberikan insentif yang berkeadilan bagi petani serta menjamin kepastian pasar dan harga.
Kemudian, Eliza menilai Indonesia juga perlu membenahi infrastruktur yang selama ini dinilai masih mahal. Diperlukan sistem logistik yang efisien untuk menunjang distribusi hasil panen secara optimal.
“Hingga saat ini biaya logistik kita masih besar, 24 persen terhadap PDB. Yang tidak kalah penting adalah mengantisipasi dampak perubahan iklim juga karena ini akan memengaruhi produksi,” tutur Eliza.

Pengamat Pertanian dan Pangan, Syaiful Bahari, sependapat dengan Eliza bahwa secara mendasar Indonesia telah memiliki seluruh prasyarat untuk mencapai swasembada jagung.
“Sebenarnya Indonesia mampu swasembada jagung karena dari sisi lahan, iklim dan tradisi bertani jagung sudah dimiliki semua. Indonesia memiliki lahan kering dan peladangan cukup luas, tiga kali lipat dari lahan irigasi,” ujar Syaiful.
Ia menambahkan, jagung relatif mudah dibudidayakan karena pemeliharaannya tidak terlalu sulit, sehingga risiko gagal panen juga lebih rendah dibandingkan dengan padi atau hortikultura.
Namun, menurut Syaiful, pemerintah perlu menjamin penyerapan hasil panen agar petani terdorong menanam jagung. “Ciptakan ekosistem produksi dan pasar dengan melibatkan industri pakan kecil menengah,” katanya.
Syaiful menjelaskan, ketergantungan Indonesia pada impor jagung saat ini dipicu oleh rendahnya produksi dalam negeri dan harga jagung impor yang lebih murah. Kata dia, tantangannya ke depan adalah menekan biaya produksi agar jagung lokal mampu bersaing di pasar global.
Sebelumnya, Presiden Prabowo menyatakan mulai tahun depan Indonesia sudah tidak akan melakukan impor jagung di mana pada tahun lalu impor masih dilakukan sekitar 500.000 ton.
“Kira-kira tahun 2026 sudah tidak impor lagi pak menteri? Ekspor hehe, terima kasih. Saya diberi jaminan oleh dua tokoh Indonesia yang hebat Menteri Pertanian dan Kapolri menjamin tahun 2026 Indonesia tidak impor lagi jagung,” kata Prabowo saat meninjau panen jagung di Bengkayang, Kalimantan Barat, dikutip Selasa (10/6).
Prabowo juga menerima laporan terkait peningkatan produksi jagung pada kuartal pertama tahun ini. Ia mengungkap peningkatan produksi terjadi hingga 48 persen. Pada Kamis (5/6), Indonesia juga telah melakukan ekspor perdana jagung. Ekspor tersebut dilakukan ke Kuching, Malaysia.