
Pengusaha mebel dan furniture buka suara soal ditetapkannya tarif impor ke Amerika Serikat (AS) sebesar 19 persen sementara tarif impor AS ke Indonesia ditiadakan adalah keputusan yang mencederai semangat perdagangan yang adil atau fair trade.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan AS merupakan pasar ekspor langganan produk mebel, furnitur dan kerajinan asal Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu.
Sehingga keputusan pengenaan tarif 19 persen tanpa adanya hambatan atau tarif impor dari Indonesia untuk produk AS yang masuk ke pasa domestik akan mengganggu kinerja industri mebel.
“Ketimpangan ini perlu menjadi perhatian serius, karena berpotensi melemahkan posisi daya saing kita di pasar global, sekaligus membanjiri pasar domestik dengan produk impor,” kata Sobur kepada kumparan, Rabu (16/7).
Dia menyoroti persentase ekspor produk mebel ke AS capai 54 persen dari total ekspor produk ini pada 2024. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor produk mebel dengan kode Harmonized System (HS) 94 pada 2024 capai USD 1,43 miliar.
“Padahal ini industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja lebih dari 2,1 juta bila omzet per tahun bisa kita capai USD 3,5 miliar dan kami mencanangkan bisa tembus USD 6 miliar 2030,” jelasnya.

Dia mewanti-wanti pemerintah, peniadaan tarif impor dan hambatan dagang dari AS untuk masuk ke Indonesia akan membuat produk impor membanjiri pasar domestik.
Terlebih AS juga merupakan salah satu negara produsen mebel dan furnitur terkuat dunia, dengan nilai capai USD 7-8 miliar per tahun.
“Jika tidak diatur dan dikendalikan dengan kebijakan proteksi selektif, pasar domestik kita bisa mengalami displacement di mana produk lokal secara perlahan bisa tersingkir oleh barang impor yang masuk dengan tarif 0 persen,” jelasnya.
Akibatnya, lanjut Sobur, pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), industri kecil, dan pekerja di sektor hilir manufaktur akan terdampak.
Terlebih menurut dia, saat ini industri mebel dan furnitur juga tengah bekerja keras untuk tetap eksisting di tengah tekanan biaya bahan baku, logistik, hingga persaingan global.
Pengenaan tarif 19 persen untuk produk yang masuk ke AS juga akan memukul konsumen dengan naiknya produk yang dikirim ke AS. Sebab sebelumnya ekspor ke AS hampir tidak dikenai tarif impor dengan tarif prefrensial.
“Kami di HIMKI berharap ada keberpihakan nyata dari pemerintah Indonesia, dengan berani memangkas seluruh aturan yang menghambat pertumbuhan industri,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Sobur, pemerintah juga bisa memberikan insentif fiskal untuk industri padat karya yang berorientasi ekspor. Langkah ini diiringi oleh perlindungan pasar domestik dari gempuran barang impor.
“(Kemudian) ada usaha serius untuk percepatan realisasi untuk penetrasi ke pasar-pasar baru seperti Eropa (melalui IEU–CEPA), Timur Tengah, dan Asia Selatan. Termasuk anggota BRICS,” tutur Sobur.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa AS telah mencapai kesepakatan dengan Indonesia. Dalam kesepakatan itu, barang dari Indonesia dikenai tarif sebesar 19 persen, sementara barang dari Amerika Serikat tidak dikenai tarif sama sekali.
“Mereka membayar 19 persen dan kita tidak membayar apa pun. Kita akan mendapat akses penuh ke Indonesia,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih, seperti yang dikutip Bloomberg, Selasa (15/7).