Hujan deras disertai gemericik air yang tidak pernah putus di lereng Gunung Raung menjadi denyut nadi kehidupan bagi masyarakat Sumberwringin, Bondowoso. Suara alam tersebut berpadu harmonis dengan lantunan doa dan aroma masakan khas yang menguar setiap bulan Sura. Sebuah ritual agung tengah berlangsung, sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi bernama Nyonteng Kolbuk.
Lebih dari sekadar seremoni tahunan, Nyonteng Kolbuk adalah cerminan falsafah hidup, sebuah cara masyarakat berterima kasih kepada Sang Pencipta atas anugerah air yang melimpah. Wacana pendaulatannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional sudah berembus, menjanjikan sebuah pengakuan yang layak. Namun, penantian akan realisasi janji tersebut memunculkan pertanyaan mendasar, yaitu sejauh mana tradisi tersebut memiliki kualifikasi fundamental sebagai pusaka budaya bangsa yang patut diakui dunia?
Jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya terhampar jelas dalam setiap detail prosesi, kearifan, dan nilai yang dikandungnya. Pengakuan sebagai WBTB bukanlah akhir, melainkan sebuah gerbang pembuka bagi pelestarian yang lebih terstruktur dan pengenalan yang lebih luas.
Akar Filosofis dan Perekat Kohesi Sosial
Nyonteng Kolbuk bukanlah sekadar aktivitas membersihkan sumber air atau kolbuk. Jauh di lubuknya, tradisi tersebut merupakan manifestasi dari hubungan vertikal dan horizontal yang mengakar kuat. Secara vertikal, Nyonteng Kolbuk merupakan ritual sebagai wujud syukur yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Sumberwringin memandang air bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai berkah suci yang menghidupi lahan pertanian dan sendi-sendi peradaban. Penyembelihan kambing jantan dan penguburan kepalanya di dekat sumber mata air menjadi simbol pengorbanan dan persembahan, sebuah janji simbolis bahwa alam sudah memberikan sebagian dari hasil yang dinikmati manusia, menciptakan siklus keseimbangan yang sakral.
Secara horizontal, Nyonteng Kolbuk berfungsi sebagai perekat sosial yang luar biasa. Seluruh elemen masyarakat terlibat dalam semangat gotong royong yang tulus. Keunikan pembagian peran, terutama dalam proses memasak, menjadi penanda kuatnya struktur sosial yang dijaga.
Para pria mengambil alih tugas yang lazimnya diemban kaum perempuan, yakni mengolah daging kambing menjadi hidangan bersama. Momen tersebut menumbuhkan rasa kebersamaan, menghapus sekat-sekat sosial, dan memperkuat solidaritas antarwarga.
Semua duduk bersama, menyantap hidangan dari hasil kerja kolektif di sekitar sumber air yang menjadi pusat kehidupan. Fungsi sosial sebagai penjaga harmoni komunal inilah yang menjadi salah satu pilar utama kekuatan sebuah tradisi sebagai entitas budaya hidup.
Harmoni Ekologis dalam Bingkai Kearifan Lokal
Di tengah ancaman krisis iklim global dan kelangkaan air yang menghantui banyak wilayah, Nyonteng Kolbuk hadir sebagai sebuah antitesis. Tradisi tersebut mampu menawarkan cetak biru konservasi lingkungan berbasis kearifan lokal yang sudah teruji oleh waktu. Aksi merawat dan membersihkan sumber mata air secara fisik adalah wujud nyata dari tanggung jawab ekologis. Namun, kekuatan utamanya justru terletak pada nilai-nilai dan mitos yang membingkainya.
Kepercayaan bahwa pelanggaran pantangan, seperti keterlibatan perempuan dalam memasak dapat menyebabkan surutnya volume air, berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sangat efektif. Narasi tersebut mungkin terdengar mistis bagi pandangan modern, tetapi sesungguhnya adalah bentuk "regulasi tidak tertulis" yang menanamkan rasa hormat dan kehati-hatian dalam memperlakukan alam.
Masyarakat tidak hanya dilarang mengeksploitasi sumber air secara berlebihan, tetapi juga diajak buat menjaganya dengan segenap jiwa melalui ritual sakral. Pendekatan yang demikian seringkali jauh lebih berdaya guna dibandingkan peraturan formal yang kering dari sentuhan spiritual.
Nyonteng Kolbuk mengajarkan sebuah etika lingkungan yang luhur bahwa manusia bukanlah penguasa alam, melainkan bagian dari ekosistem yang wajib menjaga keselarasan. Dimensi ekologis yang mendalam inilah yang membuat tradisi tersebut sangat relevan dengan tantangan zaman dan layak diangkat ke panggung global sebagai contoh praktik baik.