
Badan Pangan Nasional (Bapanas) memberikan penjelasan soal beras yang dioplos dan tengah ramai dibicarakan.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menuturkan pengawasan kualitas dan kesesuaian antara label dengan isi kemasan beras merupakan tanggung jawab Satgas Pangan. Dia menyoroti kasus oplosan beras ini adalah adanya perbedaan antara isi dan label kemasan beras.
Sementara, domain Bapanas dalam urusan perberasan berkaitan dengan pengaturan, seperti soal Harga Eceran Tertinggi (HET) dan spesifikasi kualitas beras.
“Begitu dilabel packagingnya itu beratnya 5 kg, ya harus 5 kg, di situ disampaikan beras premium berarti broken maksimumnya 15 persen. Kalau pengawasan ada Satgas Pangan, kalau Badan Pangan itu meregulasi beras premium, beras medium ya kemudian meregulasi HET,” kata Arief di Kantor Kemenko Bidang Pangan, Selasa (15/7).
Menurut dia, saat ini pemerintah berupaya menertibkan pedagang-pedagang curang yang menjual beras dengan isi dan label tidak sesuai tersebut.
“Sekarang pemerintah mau menertibkan kalau packagingnya 5 kg, jual 4,8 (kg) nggak boleh. Itu pidana. Dua minggu lalu Pak Menteri Pertanian mengundang saya, Satgas Pangan, Kejaksaan menyampaikan bahwa Ini ada 200 lebih yang dimasukkan lab kondisinya seperti ini,” tutur Arief.
Dia juga memastikan Mentan Amran memberikan waktu selama dua minggu bagi 212 perusahaan yang diduga melakukan kecurangan tersebut untuk memperbaiki produk masing-masing.

Meski demikian, Arief menampik fenomena beras oplosan ini muncul karena belum adanya penyesuaian Harga Pokok Pembelian (HPP) gabah dari Rp 6.000 ke Rp 6.500 per kg.
“Enggak ada kaitannya ya antara produk spek yang dalam packaging ya dengan itu semua (HPP). Jadi kalau pak Menteri Pertanian menyampaikan ada lebih dari 200 label yang di test lab (dan) speknya itu tidak sesuai label, itu kan enggak benar. Jadi enggak ada kaitannya harga juga sama,” jelasnya.
Arief juga menuturkan ada kesalahan persepsi atau pemaknaan dari kata oplos. Sehingga kata ini memiliki konotasi negatif. Mulanya kata oplos atau oplosan ini dikaitkan dengan pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) harga tinggi dengan harga rendah, kemudian dijual dengan harga tinggi.
Sama seperti BBM, menurut Arief pencampuran spesifikasi beras yang rendah dengan yang tinggi, kemudian dijual dengan harga tinggi juga tidak diperbolehkan.
“Beras premium itu 15 persen maksimum broken, brokennya 30 persen itu nggak boleh di labelin beras premium. Sekarang kalau beras premium brokennya 15 persen dimasukinnya (dicampur) 13 atau 12 persen boleh nggak? Boleh, kan maksimal 15 persen,” imbuhnya.
“Nah dalam mesin itu, end to end itu yang dibilang mencampur, itu maksudnya ini beras kepala atau beras utuh ini beras patah dicampur, dicampur itu maksudnya itu,” jelasnya.
Larangan Mencampur Beras Bulog

Arief menuturkan beras Bulog atau beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) tidak diperbolehkan untuk dicampur dengan beras lain, kemudian beras tersebut dijual dengan harga tinggi, dijual di luar HET Rp 12.500 per kg.
“Tapi yang nggak boleh itu misalnya Beras SPHP Harga Rp 12.500 (per kg) kemudian ini ada beras lain dicampur, terus dijual harganya Rp14.000 Itu yang nggak boleh. Karena beras SPHP itu tidak boleh dicampur,” jelasnya.
Sebelumnya, Mentan Amran menuturkan investigasi gabungan beberapa instansi termasuk Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan menemukan skandal pengoplosan beras oleh 212 merek.
Selain merugikan konsumen dari sisi kualitas, modua ini juga menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp 99 triliun. “Kalau ini terjadi selama 10 tahun, kerugiannya bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Ini harus kita selesaikan bersama,” tegas Amran melalui keterangan tertulis.
Terkait praktik curang mafia beras, Amran memastikan Kementan telah bersurat resmi ke Jaksa Agung, Kapolri, dan Satgas Pangan, yang kini tengah bekerja secara intensif.
Amran juga menyayangkan praktik pengoplosan beras yang menyebabkan harga beras medium dijual dengan harga premium, hingga selisih dapat mencapai Rp 3.000 per kilogram.