Sekitar 20 menit perjalanan darat dari pusat kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, terhampar sebuah lahan bekas tambang timah yang berhasil disulap menjadi kawasan yang sangat hijau.
Semilir angin lembut menyambut para pengunjung ketika menginjakkan kaki di tengah hamparan pepohonan yang rapat. Kawasan ini menjadi rumah bagi aneka flora dan fauna, endemik hingga yang terancam punah.
Destinasi ini diberi nama Kampung Reklamasi Air Jangkang. Pada Rabu (20/8), kumparan berkesempatan mengunjungi hasil reklamasi tambang milik PT Timah (Persero) Tbk (TINS) tersebut.
Salah satu bagian reklamasi ini merupakan lahan konservasi Pusat Penyelamatan Satwa (PPS), yang didirikan sebuah non government organization (NGO), Alobi Foundation, sejak 2005.
Sejak awal memasuki kawasan reklamasi ini, suara kakatua terdengar nyaring bersahut-sahutan. Berbagai jenis elang, monyet, hingga rusa juga turut memecah keheningan.
Berbeda dengan satwa-satwa tersebut, terlihat sebuah musang yang terancam punah merangkak diam-diam di dalam kandangnya. Warga lokal biasa menyebutnya binturong. Hewan berbulu hitam ini ada yang berukuran kecil, namun ada juga yang cukup besar.
Tidak jauh dari kandang binturong, terdapat sebuah kandang yang jika dilihat sekilas, tidak ada apa pun di dalamnya. Sebab, hewan yang ada di sana berukuran kecil dan sangat pendiam, yakni tarsius. Primata terkecil di dunia ini juga berstatus terancam punah.
Sebelum direklamasi, kawasan ini merupakan lahan bekas tambang dengan tailing, rawa-rawa, void atau lubang bekas tambang, dan vegetasi dengan topografi lahan yang belum stabil.
Manager Lembaga Konservasi PPS Alobi, Endi Riyadi Yusuf, mengatakan dari sekitar 5 PPS yang masih aktif di Indonesia, PPS Alobi merupakan satu-satunya yang dibangun di atas lahan bekas tambang di Indonesia.
Fakta ini sekaligus menandakan bahwa PT Timah menjadi satu-satunya perusahaan pertambangan yang membangun lahan konservasi satwa di lahan reklamasinya.
"Ini eks tambang, satu-satunya. Makanya pola ini, yang punya izin PPS itu satu-satunya PT Timah dengan NGO Alobi," ungkapnya.
Pertambangan Ilegal dan Besarnya Konflik Manusia vs Buaya
Endi mengatakan, setidaknya terdapat 120 satwa yang saat ini tengah direhabilitasi di PPS Alobi. Selain primata, burung, dan rusa, PPS ini juga merehabilitasi buaya muara alias porosus.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi daerah dengan konflik buaya dan manusia terbesar ketiga di Indonesia, setelah Riau dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Endi mengungkapkan alasannya adalah aktivitas pertambangan ilegal yang masif.