Dalam buku tersebut, disajikan pembiayaan utang dari tahun 2021-RAPBN 2026, jumlah utang pada tahun 2021 ditarik sebesar Rp 870,5 triliun, tahun 2022 sebesar Rp 696 triliun, tahun 2023 Rp 404 triliun, tahun 2024 Rp 558,1 triliun, outlook 2025 sebesar Rp 715,5 triliun, dan RAPBN 2026 Rp 781,86 triliun.
Artinya, rencana penarikan utang baru pemerintah yang dipatok Rp 781,86 triliun merupakan jumlah paling besar sejak 2022 di masa pandemi COVID-19.
Dari jumlah penarikan utang Rp 781,86 triliun itu, bakal dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman. Pembiayaan utang yang berasal dari SBN akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara.
"Sementara itu, pinjaman Pemerintah terdiri dari Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri. Instrumen pinjaman akan lebih banyak dimanfaatkan untuk mendorong kegiatan/proyek prioritas Pemerintah," tulis dokumen tersebut, dikutip Sabtu (16/8).
Dalam RAPBN 2026, pembiayaan utang yang bersumber dari SBN (neto) direncanakan sebesar Rp 749,19 triliun atau naik jika dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2025.
Sedangkan, pembiayaan pinjaman (neto) pada RAPBN tahun anggaran 2026 direncanakan sebesar Rp 32,6 triliun, turun 74,9 persen dibandingkan outlook tahun 2025 sebesar Rp 130,3 triliun.
Dalam keterangannya, pinjaman neto tersebut akan dipenuhi melalui pinjaman dalam negeri neto sebesar negatif Rp 6,5 triliun dan pinjaman luar negeri neto sebesar Rp 39,2 triliun.
Dari sisi pendapatan, pemerintah memasang target ambisius pendapatan negara pada tahun depan. Berdasarkan RAPBN 2026, target penerimaan negara dipatok Rp 3.147,7 triliun.
Jika dirinci, kenaikan target yang signifikan berada pada pendapatan pajak, yakni senilai 2.357,7 triliun atau naik 13,5 persen dibandingkan target penerimaan pajak pada tahun lalu.
"Target penerimaan pajak itu cukup tinggi dan ambisius," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8).