Oleh : Jani Purnawanty, Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Airlangga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2045 tinggal dua dekade lagi. Tepat 100 tahun merdeka, Indonesia memproyeksikan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dunia dengan bonus demografi sebagai pendorong utama. Pemerintah mencatat penurunan prevalensi stunting secara nasional menjadi 19,8 persen pada tahun 2024 (SSGI, 2024). Namun, angka ini tetap menunjukkan satu dari lima balita Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan kronis dan jutaan lainnya tumbuh dengan minimnya kecukupan zat gizi esensial bagi perkembangan otak dan tubuh. Dengan kondisi seperti ini, akankah Indonesia Emas 2045 niscaya?
Kecukupan gizi merupakan kebutuhan fisik mendasar dalam membangun kecerdasan, daya tahan, dan produktivitas. Tanpa nutrisi yang cukup, investasi dan intervensi apa pun pada pengembangan SDM tidak akan berarti. Indonesia saat ini menggenggam a window of opportunity yang hanya datang sekali dalam sejarah demografi bangsa. Anak-anak yang lahir hari ini akan memasuki usia produktif tepat di tahun 2045. Merekalah yang menjadi aktor utama mewujudkan visi Indonesia Emas. Bonus demografi terjadi saat postur kependudukan mencapai puncaknya: jumlah usia produktif jauh melebihi jumlah usia non-produktif. Waktu mempersiapkan generasi unggul sangat terbatas. Jika dalam kurun dua dekade ini fondasi SDM yang kuat tidak terbangun, maka Indonesia berisiko menghadapi aging before prospering.
Istilah aging before prospering merujuk pada kondisi di mana jumlah penduduk lansia lebih banyak dari jumlah usia produktif dan situasi ini terjadi ketika negara belum mencapai kemakmuran. Untuk itu, sangat krusial mempersiapkan generasi muda dengan asupan gizi memadai, pendidikan berkualitas, dan akses terhadap produktivitas. Jika tidak, ketika mereka menua nanti, negara justru akan menanggung beban ganda: kekurangan tenaga kerja produktif dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan sosial bagi lansia.
Di titik ini, Indonesia akan menghadapi risiko stagnasi pembangunan sebagai dampak kehilangan periode emas mempersiapkan SDM unggul. Ketika Indonesia gagal membangun nutritional foundation yang kokoh hari ini, bonus demografi hanya angka statistik tanpa kekuatan transformasi. Alih-alih melompat menjadi negara maju, kita justru akan terjebak dalam kejumudan akibat kehilangan satu generasi gemilang. Mimpi Indonesia Emas pun terancam menjadi utopia yang patah di tengah jalan.
Menurut laporan gabungan FAO, IFAD, UNICEF, WFP, dan WHO (2022), permasalahan gizi suatu bangsa umumnya berakar pada empat dimensi utama: ketersediaan pangan, keterjangkauan, akses informasi dan edukasi gizi, serta lingkungan pendukung seperti sanitasi dan layanan kesehatan. Ketika keempat aspek ini tidak terpenuhi secara adil dan merata, maka akan menghasilkan pola kombinasi malnutrisi yang kompleks: kekurangan gizi (undernutrition), kelebihan gizi (overnutrition), dan kekurangan mikronutrien (hidden hunger). Nyata, masalah gizi bukan sekadar akibat pilihan individu, melainkan hasil dari sistem pangan dan sosial yang tidak inklusif.
Di Indonesia, Bappenas (2021) dan TNP2K mengidentifikasi persoalan krusial penyebab tingginya angka stunting dan gangguan gizi lainnya adalah kombinasi dari kemiskinan struktural, ketimpangan akses pangan bergizi antar wilayah, dan rendahnya literasi gizi di tingkat rumah tangga. Masalah-masalah ini saling berkelindan, saling memperparah, dan menyebabkan jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa nutritional foundation memadai. Penting digarisbawahi, gizi bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi hak dasar anak yang dijamin dalam Konvensi Hak Anak dan Konstitusi Indonesia. Dalam konteks ini, gizi anak bukan hanya isu rumah tangga, tetapi menjadi indikator sejauh mana negara mampu menjamin keadilan sosial dan pemenuhan hak dasar bagi warganya.
Menukik lebih dalam, permasalahan gizi di Indonesia tidak lepas dari ketimpangan kondisi sosial-ekonomi. Salah satu akar masalah mendasarnya adalah kemiskinan dan rendahnya daya beli keluarga. Menurut Bappenas (2021), rumah tangga miskin Indonesia menghabiskan 65% pendapatannya untuk pangan, itupun sebatas pemenuhan karbohidrat seperti beras dan mi instan. Dalam konteks ini, food affordability menjadi isu kunci. Protein hewani, susu, dan sayur segar sering menjadi komoditas tak terjangkau, meski orang tua memahami pentingnya nutrisi tersebut bagi tumbuh kembang anak. Ketimpangan ekonomi struktural menjadi penyumbang utama tingginya prevalensi undernutrition, terutama stunting.
Masalah kedua, ketimpangan akses terhadap pangan sehat dan layanan kesehatan gizi, terutama di wilayah 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar. Ketersediaan tidak selalu berarti keterjangkauan. Di banyak daerah pesisir, pegunungan, dan pulau-pulau kecil, distribusi bahan pangan dan pelayanan gizi kerap terhambat oleh kondisi geografis dan infrastruktur yang minim. Global Food Security Index (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 63 dari 113 negara, dengan sorotan khusus pada aspek aksesibilitas. Ketiadaan posyandu aktif, keterbatasan tenaga gizi, serta distribusi pangan bergizi yang tidak merata memperbesar risiko geographic nutritional inequality.
Masalah ketiga, rendahnya literasi gizi (nutrition literacy), terutama di tingkat rumah tangga. Literasi gizi bukan sekadar kemampuan memahami informasi tentang makanan, melainkan juga keterampilan memilih, mengolah, dan menyusun pola makan seimbang sesuai kebutuhan keluarga. Dalam konteks Indonesia, berbagai studi terbaru menunjukkan pemahaman gizi yang rendah masih menjadi determinan utama dalam tingginya angka stunting. Sebuah scoping review oleh Wahyuni dkk. (2023) dalam jurnal Amerta Nutrition menyampaikan peningkatan literasi gizi pada ibu mampu menurunkan prevalensi stunting hingga 9,3%, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi (2,4%). Temuan ini mengafirmasi literasi gizi bukan hanya wacana edukatif, tetapi intervensi nyata yang berdampak langsung pada kualitas hidup anak.
Sayangnya, literasi gizi yang rendah sering kali beririsan dengan minimnya pendidikan formal dan terbatasnya akses informasi. Pesan-pesan edukasi gizi yang disampaikan oleh negara kerap gagal menjangkau ibu-ibu di lapisan bawah karena tidak kontekstual, tidak praktis, atau tidak disampaikan dalam bahasa yang dekat dengan kehidupan mereka. Tanpa pendekatan komunikasi yang inklusif dan partisipatif, masyarakat akan tetap terjebak dalam praktik konsumsi yang tidak sehat.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menjalankan berbagai upaya perbaikan status gizi masyarakat. Di tingkat nasional, program Percepatan Penurunan Stunting, intervensi gizi spesifik dan sensitif, bantuan makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil, termasuk MBG, hingga penguatan posyandu menjadi tulang punggung intervensi di akar rumput. Program edukasi gizi juga mulai ditingkatkan, termasuk integrasi isu gizi ke dalam sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan primer. Namun, ini tidak selalu menyentuh konteks kehidupan nyata di rumah tangga. Terlalu banyak pendekatan top-down yang tidak memperhitungkan suara dan daya masyarakat, terutama kaum ibu sebagai aktor utama pengambilan keputusan pangan sehari-hari.
Dalam situasi ini, kita perlu menggeser cara pandang: dari ketergantungan kepada negara ke pemberdayaan keluarga. Sudah saatnya kita berhenti menggantungkan seluruh beban perbaikan gizi kepada Pemerintah semata. Masyarakat, khususnya para ibu, bisa menjadi garda terdepan pembentukan generasi sehat dan kuat. Mulai dari memperbaiki pola konsumsi, menanam bahan pangan sendiri, menyusun menu bergizi dengan anggaran terbatas, hingga terlibat dalam edukasi sesama perempuan di lingkungan terdekat.
Dalam perjalanan menuju masyarakat sejahtera, negara memang harus hadir, tetapi masyarakat pun harus bersuara dan bertindak. Gizi anak bukan hanya tentang kebijakan publik, tapi juga tentang keputusan-keputusan kecil yang diambil setiap hari dari bilik dapur keluarga. Dapur keluarga bukan sekadar tempat memasak, justru di sanalah ujung tombak amanat Ibu Pertiwi “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”