Polisi, Pengayom Rakyat atau Perisai Kekuasaan?

1 day ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Image Ahmad Fahmi Fadilah

Update | 2025-08-31 13:45:02

Sejak awal berdirinya, institusi kepolisian di Indonesia dibangun dengan semangat luhur: mengayomi masyarakat, menegakkan hukum, serta menjaga ketertiban. Itulah jargon yang terus digaungkan dalam setiap spanduk, baliho, hingga motto yang terpampang di kantor-kantor polisi: “Rastra Sewakottama” abdi utama nusa dan bangsa. Kata-kata itu terdengar indah, penuh makna pengabdian. Namun, realitas di lapangan seringkali memunculkan pertanyaan yang getir: apakah polisi sungguh mengabdi kepada rakyat, atau justru lebih sering tampil sebagai benteng kekuasaan?

Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat berbagai peristiwa belakangan ini. Ada warga kecil yang menjadi korban tindakan represif aparat, ada mahasiswa yang dibubarkan dengan gas air mata ketika menyuarakan kritik, ada pengemudi ojek online yang justru meregang nyawa karena kelalaian aparat di lapangan. Semua peristiwa itu seolah meruntuhkan gambaran polisi sebagai pelindung. Yang muncul justru wajah lain: polisi yang tampak gagah di hadapan rakyat kecil, tetapi kerap bungkam di hadapan para pemilik modal dan penguasa.

Masyarakat lalu bertanya-tanya, di pihak mana polisi berdiri? Apakah benar di sisi rakyat, atau lebih nyaman menjadi perisai bagi para penguasa yang takut kehilangan kursi dan kuasa?

Polisi idealnya berdiri di garis tengah: netral, adil, dan bekerja sesuai hukum. Namun, kenyataan menunjukkan kecenderungan berbeda. Dalam banyak kasus, aparat bergerak cepat jika menyangkut kepentingan pejabat atau elit politik. Tetapi ketika rakyat biasa melapor, tak jarang prosesnya berbelit, lambat, bahkan kadang diabaikan. Fenomena ini membuat citra polisi perlahan terkikis: dari pelindung yang diharapkan, menjadi institusi yang dicurigai.

Luka publik semakin dalam ketika polisi tampak represif pada demonstrasi damai. Seolah suara rakyat dianggap ancaman, padahal demonstrasi adalah hak konstitusional. Gas air mata dan pentungan seakan menjadi bahasa resmi negara ketika berhadapan dengan aspirasi rakyat. Ironisnya, ketika korupsi merajalela di lingkaran elit, atau ketika pejabat tinggi terlibat skandal, polisi justru berjalan hati-hati, penuh kompromi, bahkan kadang bersembunyi di balik alasan “proses hukum masih berjalan”.

Inilah yang memunculkan istilah sinis di masyarakat: polisi bukan lagi pengayom, melainkan “penjilat tikus negara” sebuah metafora pahit untuk menggambarkan aparat yang lebih memilih tunduk pada penguasa ketimbang berpihak pada rakyat. Ungkapan ini lahir bukan dari kebencian, tetapi dari rasa kecewa dan putus asa.

Meski demikian, kita tidak boleh lupa bahwa di tubuh kepolisian juga ada banyak individu baik yang sungguh-sungguh ingin mengabdi. Ada polisi yang rela berpanas-panasan mengatur lalu lintas, ada yang sabar mendampingi korban kekerasan, ada pula yang berjuang melawan narkoba meski mempertaruhkan nyawa. Hanya saja, suara mereka sering tertutupi oleh perilaku buruk oknum dan kebijakan institusional yang condong pada kepentingan politik.

Jika polisi ingin kembali dipercaya rakyat, jalan satu-satunya adalah mengembalikan jati dirinya: menjadi pelindung, bukan pelindas. Menjadi sahabat masyarakat, bukan momok yang ditakuti. Menjadi institusi hukum yang adil, bukan sekadar alat kekuasaan. Keberanian untuk berbenah, membersihkan diri dari korupsi internal, menindak aparat yang arogan, serta berdiri tegak di hadapan siapapun entah rakyat kecil atau pejabat tinggi itulah yang akan menentukan arah masa depan kepolisian.

Sebab, pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat polisi dari jumlah rantis, gas air mata, atau barikade yang mereka pasang. Sejarah hanya akan mencatat: apakah polisi berdiri bersama rakyat, atau justru melawan rakyat. Dan di titik inilah, pertanyaan sederhana tapi tajam itu kembali menggema: polisi kita, pelindung masyarakat, atau sekadar penjilat bagi tikus negara?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article