
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menyentil Mahkamah Konstitusi yang ia nilai belakangan ini kontroversial.
Awalnya Jazilul menceritakan bahwa anggota DPRD dari fraksi PKB mendukung putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang memisah Pemilu nasional dan lokal.
“Ada anggota DPRD tingkat 2 PKB nanya ke saya, Pak Jazilul jangan diubah ini (putusan MK) karena saya dapet bonus 2 tahun, woh enggak ada yang bisa mengubah di negeri ini, ini sudah keputusan Mahkamah Konstitusi,” kata Jazilul saat diskusi proyeksi desain pemilu pasca putusan MK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (4/7).
“Cuma maksud saya keputusan-keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi, dengan 9 orang hakim konstitusi sering kali itu menjadi kontroversi,” sambung Ketua Fraksi PKB itu.

Menurutnya, putusan ini membuat MK dianggap tidak konsisten karena dulu mendorong pelaksanaan pemilu untuk dilakukan secara serentak, sekarang justru memisahkan.
Jazilul pun menilai sikap MK melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi.
Meski secara hukum MK memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara pengujian undang-undang, partai tersebut menilai putusan-putusan MK belakangan ini justru menunjukkan kecenderungan ikut mengatur, bukan semata-mata menjaga konstitusi.
“Bahwa MK memiliki kewenangan untuk memutuskan itu di luar kontroversi, MK itu open legal policy atau negative legislation dan dia mengaku sebagai guardian of constitution gitu ya, kalau dia penjaga ya nggak usah ngatur,” katanya.
Sebelumnya MK memutuskan memisah Pemilu nasional dan lokal. Keputusan ini berlaku mulai 2029.
Pemilu nasional meliputi Pileg DPR, DPD dan Pilpres. Sedangkan Pemilu lokal meliputi Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota dan Pilkada.

Namun, Pemilu lokal baru digelar paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Dalam konteks pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah, MK dianggap Jazilul telah masuk ke wilayah kebijakan legislatif. Padahal, sebagai lembaga yudisial, MK semestinya menjalankan fungsi negative legislator, hanya membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan membuat norma baru.
“Nah kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga, ikut ngatur pula norma-norma baru dibuat,” tutur Jazilul.