
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal menimbulkan polemik. Bahkan, DPR menilai, menjalankan atau tidak, tetap melanggar konstitusi.
Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukan sesuatu yang tidak bisa diubah. Menurutnya, koreksi terhadap putusan MK hanya dapat dilakukan oleh MK sendiri melalui mekanisme judicial review (JR) atas pasal yang sama di Undang-Undang.
Hal ini menanggapi berbagai respons yang muncul imbas putusan Mahkamah Konstitusi nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang memisah Pemilu nasional dan lokal.

Putusan tersebut menyebutkan Pemilu Daerah untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD harus diselenggarakan paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden, DPR, dan DPD hasil Pemilu Nasional.
“Kalau kita ingin mengubah putusan MK, ya ajukan kembali judicial review atas pasal yang sama. Karena toh Mahkamah kan project story-nya, dia pernah mengubah pendirian karena argumentasi hukum yang kuat,” kata Titi dalam forum diskusi publik dengan tema proyeksi desain pemilu pasca putusan MK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (4/7).
Kalau tidak sepakat, ya silakan ajukan JR lagi. Itulah cara paling konstitusional. Karena kita ini negara hukum."--Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.Ia menegaskan tidak ada jalan lain yang sah secara konstitusional untuk mengoreksi putusan MK selain melalui uji materi kembali ke MK.
“MK hanya bisa direkonstruksi oleh putusan Mahkamah Konstitusi, karena Pasal 24C UUD 1945 mengatakan putusan MK final,” tegas Titi.
Menurut Titi, langkah uji materi adalah bentuk penghormatan terhadap konstitusi dan bagian dari pendekatan living constitution atau konstitusi yang hidup dan terus menyesuaikan diri dengan dinamika sosial-politik masyarakat.
“Konstitusi kita ini kan hanya 38 pasal. Supaya tetap relevan dengan perubahan masyarakat, dia harus ditafsirkan secara dinamis oleh lembaga yang berwenang, yaitu Mahkamah Konstitusi,” ujar dia.

Titi juga mengingatkan praktik MK mengoreksi dirinya sendiri melalui putusan baru bukan hal baru.
Ia mencontohkan pada perkara syarat usia capres dan cawapres, di mana Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengizinkan capres di bawah 40 tahun jika pernah menjabat kepala daerah, direvisi sebagian oleh Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023.
“Publik tidak happy dengan putusan 90, lalu muncul putusan 141. Tapi kita tetap patuh berkonstitusi, dan cara menantangnya adalah kembali ke MK,” ucapnya.
“Putusan final itu bukan berarti abadi. Sepanjang ada alasan hukum yang kuat dan pasalnya sama, maka bisa diajukan judicial review kembali,” katanya.

Perludem bertindak sebagai pemohon dalam uji materi Undang-Undang Pemilu ke MK yang kemudian dikabulkan lewat Putusan 135/PUU-XXII/2024.
Namun, Titi menyebut langkah itu bukan tanpa dasar. Salah satu motivasi utama adalah keprihatinan mendalam terhadap beban pemilu serentak 2019 yang menyebabkan banyak korban jiwa.
“Pada Pemilu 2019, sebanyak 894 petugas pemilu meninggal dunia, lebih dari 5.000 lainnya jatuh sakit. Kalau boleh jujur, waktu itu tidak ada yang senang dengan model pemilu serentak. Bahkan ada yang menyebut itu pemilu paling brutal, tanpa pertumpahan darah, tapi 800 orang meninggal dunia,” kata dia.