Perajin kain tradisional di Sumsel mendesak pemerintah daerah (Pemda) untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mendukung pelestarian wastra lokal. Salah satu poin yang diusulkan adalah mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) mengenakan kain buatan tangan seperti jumputan dan songket dalam kegiatan formal pemerintahan.
Usulan ini disampaikan oleh Sherli, pemilik dan penggerak usaha Jumputan Bang Syaiful, sebagai bentuk harapan terhadap dukungan nyata Pemda dalam menghadapi ancaman masifnya kain printing yang merusak pasar kain tradisional.
"Kami juga meminta dukungan pemerintah untuk dibuatkan Perdanya, supaya ASN dan lainnya bisa pakai pakaian handmade seperti Jumputan atau kain khas Sumsel lainnya," kata Sherli, Sabtu (2/8/2025).
Sherli menyebut, industri kain printing yang kian menjamur membuat pengrajin kain buatan tangan seperti jumputan semakin terdesak. Satu kain handmade membutuhkan waktu produksi hingga satu minggu, sedangkan printing mampu mencetak dalam jumlah besar hanya dalam hitungan jam.
"Dulu pengrajin kami ada sekitar 50 orang, sekarang tinggal 20. Kalau tidak ada perlindungan regulasi, lama-lama bisa habis," keluhnya.
Ia menilai, regulasi yang mewajibkan ASN memakai produk wastra lokal bukan hanya akan mendorong permintaan pasar, tetapi juga menjadi strategi pelestarian budaya sekaligus pemberdayaan ekonomi warga.
Sherli dan suaminya, Syaiful, mendirikan Jumputan Bang Syaiful pada 2020, meneruskan tradisi keluarga yang telah menekuni kerajinan jumputan sejak 1990-an. Karya mereka baru-baru ini mendapat perhatian nasional saat menjadi salah satu sentra wastra yang dikunjungi Ketua Umum Dekranas Selvi Ananda dan Ketua TP PKK Pusat Tri Suswati di Palembang.
Dalam kunjungan tersebut, ratusan potong kain diborong oleh rombongan, termasuk produk unggulan jumputan prada, yang telah dimodifikasi dengan teknik *prada tulis* agar lebih nyaman dikenakan.
Namun bagi Sherli, apresiasi seperti itu perlu ditopang kebijakan nyata.
“Tanpa regulasi, kami hanya bertahan dari momen ke momen. Kalau ada Perda, dukungannya akan berkelanjutan,” ujarnya.
Tak hanya berinovasi dari sisi desain, Sherli juga memelopori penggunaan pewarna alami dari limbah getah gambir, sejalan dengan tren global akan produk ramah lingkungan atau eco-print. Warna yang dihasilkan pun memiliki ciri khas tersendiri, dan kini menjadi salah satu produk favorit pelanggan.
Produk mereka tersedia dalam bentuk kain panjang, selendang, jilbab, hingga setelan pakaian dengan harga mulai dari Rp100 ribu hingga Rp1 juta. Dalam sebulan, usahanya mampu menjual hingga 1.000 potong kain dan 300 setelan busana, banyak di antaranya disalurkan lewat jaringan reseller aktif.
Bagi Sherli, relasi dengan pelanggan bukan hanya soal jual beli. Ia membangun kedekatan emosional yang kuat, terutama dengan kalangan ASN dan pejabat yang menjadi pelanggan tetap.
"Pembeli bisa jadi keluarga. Kalau ASN pakai kain lokal, itu bukan hanya bangga memakai budaya, tapi juga membantu roda ekonomi masyarakat kecil terus berputar," tutupnya.