
SEORANG tukang cukur, Ehab Nuor, 23, berbaring di atas pasir di balik tumpukan logam. Ia bersembunyi dari tembakan senapan mesin yang hebat. Ratusan warga lain Palestina bergegas pergi bersama ransel yang mereka bawa untuk mengumpulkan makanan.
Nuor menjadi sasaran tembakan militer Israel di dekat pusat distribusi makanan lebih dari 10 kali. Minggu lalu, Nuor kembali menghindari peluru. "Beginilah cara kami mendapatkan tepung di Gaza. Padahal kami hanya ingin hidup."
Nasib mujurnya tentu tidak sama dengan yang lain. Sebut saja Ameen Khalifa, 30. Di Juni, tembakan senapan mesin sporadis terdengar di dekat lokasi pembagian yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) pada dini hari. "Mereka menembaki kami, saya bersumpah," katanya.
"Kami datang untuk mendapatkan makanan demi hidup lalu bersimbah darah. Kami akan mati karena berusaha mendapatkan makanan." Sekitar 170 warga Palestina terluka hari itu dan 30 orang tewas.
Khalifa selamat, tetapi tidak lama. Keluarganya mengatakan ia ditembak dan tewas di daerah yang sama dua hari kemudian saat mencoba mengumpulkan makanan.
"Tidak ada pengaturan, tidak ada ketertiban, tidak ada kondisi kemanusiaan atau apa pun yang menghormati manusia," kata saudara laki-laki Khalifa dalam wawancara dari kamp pengungsi di Deir al-Balah, Gaza tengah.
Ada pula anak laki-laki, Ahmad Zeidan, yang mengantre untuk mengambil makanan sejak pukul 19.00 bersama ibu dan saudara perempuannya, setelah menerima kabar tentang distribusi makanan dari militer Israel. Ia menunjuk militer Israel melepaskan tembakan dan ibunya tewas.
"Saya menyarankan orang-orang untuk tidak pergi (ke lokasi-lokasi bantuan makanan). Bantuan celaka ini, baik kita memperolehnya sambil menjaga martabat maupun tidak menginginkannya. Ibu saya sudah tiada," teriaknya di luar rumah sakit Nasser sambil menunggu untuk mengambil jenazahnya.
Satu video dari Juli menunjukkan peluru mengenai pasir saat barisan warga Palestina bersembunyi. "Tembakan ke arah kami acak," kata Mohammed Sleiman Abu Lebda, 20, yang berbalut perban dan menonton video di ponselnya dari ranjang rumah sakit.
Ia menunggu selama dua jam di lokasi distribusi ketika militer Israel menembaki kerumunan. Meski ia selamat, pria di sampingnya tercabik-cabik. Jasadnya dibawa pergi dalam tas yang dibawanya untuk mengumpulkan tepung.
Menurut PBB, setidaknya 1.373 warga Palestina telah tewas sejak 27 Mei saat mencari makanan. Sebanyak 859 tewas di sekitar lokasi GHF dan 514 di sepanjang rute konvoi makanan.
Investigasi
The Guardian lantas melakukan analisis bukti visual, peluru, data medis, dan pola cedera dari dua rumah sakit, serta wawancara dengan organisasi medis dan ahli bedah selama kurang lebih 50 hari distribusi makanan. Hasil investigasinya, Sabtu (9/8), menunjukkan pola penembakan berkelanjutan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina yang mencari makanan.
Lebih dari 2.000 warga Palestina terluka selama 48 hari investigasi. Sebagian besar luka akibat tembakan.
Media Inggris itu mempelajari lebih dari 30 video tembakan di dekat lokasi distribusi makanan yang dikelola GHF didukung AS dan Israel. Dalam satu video, tank Israel terlihat jelas dan suara tembakan dapat terdengar.
Dalam rekaman tersebut, muncul tembakan senapan mesin setidaknya selama 11 hari di dekat lokasi distribusi makanan. Selongsong peluru yang ditemukan dari pasien dan pola tembakan yang dianalisis oleh para ahli senjata menunjukkan bahwa itu amunisi Israel.
Para dokter di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis dan Rumah Sakit Lapangan Palang Merah di Rafah menggambarkan penanganan luka tembak dalam jumlah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hampir semua pasien yang datang ke rumah sakit lapangan mengatakan bahwa mereka ditembak militer Israel saat mencoba mencapai lokasi distribusi makanan.
Di Rafah, rumah sakit lapangan Palang Merah dengan 60 tempat tidur menerima lebih dari 2.200 pasien. Korban berasal dari 21 lebih insiden massal yang terpisah antara 27 Mei, ketika lokasi GHF dibuka, dan 26 Juni, menurut catatan rawat inap rumah sakit.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengatakan jumlah korban lebih tinggi daripada jumlah gabungan pasien yang mereka tangani selama insiden korban massal sepanjang tahun sebelumnya. Dalam data itu, lebih dari 100 pasien ini dinyatakan meninggal saat tiba.
Tidak bertanggung jawab
Pakar senjata Inggris Chris Cobb-Smith, mengomentari rekaman suara tembakan yang mengenai pasir. Ia mengatakan bahwa tindakan tersebut ceroboh dan tidak bertanggung jawab. "Tidak ada alasan taktis untuk menggunakan tembakan senjata ringan sedemikian rupa di dekat kerumunan nonkombatan. Ini benar-benar keterlaluan."
Pakar senjata AS, Trevor Ball, mengatakan jika dimaksudkan sebagai tembakan peringatan, itu merupakan praktik yang tidak aman. Membidik terlalu dekat dengan orang-orang dapat menimbulkan risiko bahaya atau kematian yang signifikan. Peluru dapat memantul serta lintasannya terpengaruh oleh angin dan faktor nonmanusia lain, termasuk faktor manusia. Risiko ini meningkat seiring bertambahnya jarak.
Gambar delapan peluru yang dikeluarkan dari orang-orang yang ditembak di dekat lokasi GHF dibagikan oleh dokter dari Rumah Sakit Nasser. Para pakar senjata menganalisis dua peluru menggunakan pengukuran.
Ball mengatakan peluru-peluru itu konsisten dengan kaliber 7,62x51 mm yang menjadi standar IDF (Pasukan Pertahanan Israel). Satu lagi ialah kaliber 50 yang digunakan senapan mesin IDF dan beberapa senapan runduk Hamas.
Menurut Ball, senapan mesin banyak digunakan untuk infanteri IDF dan dipasang di kendaraan. Sebagai perbandingan, Hamas memiliki beberapa senapan mesin dan senjata IDF yang dirampas, tetapi ini jarang terlihat kecuali pada acara-acara seremonial.
Cobb-Smith mengonfirmasi temuan kaliber yang sama dan sependapat dengan Ball. Namun, ia sulit memastikan kaliber enam peluru lain. Yang pasti, semua merupakan peluru berkecepatan tinggi sehingga kemungkinan besar berasal dari persenjataan militer.
Menargetkan bagian tubuh
Seorang ahli bedah konsultan di Rumah Sakit Universitas Oxford, Prof. Nick Maynard, mengunjungi Gaza sejak 2010 dan menyelesaikan tiga misi ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis sejak awal perang turut memberikan pandangan. Berbicara di sela-sela operasi, ia mengatakan bahwa sejak lokasi GHF dibuka, ia terutama melihat luka tembak pada pasien.
Maynard melihat pengelompokan luka serupa yang bertepatan dengan hari-hari ketika makanan didistribusikan--antara enam dan 12 pasien datang dengan luka yang sama--tembakan di leher, kepala, atau lengan. "Pengelompokan luka serupa dalam satu hari menunjukkan bahwa ini aktivitas yang menargetkan bagian tubuh tertentu."
Ia menambahkan suatu malam, pihaknya menerima empat remaja laki-laki. Semua ditembak pada kemaluannya.
Dokter bedah lain di Nasser, Goher Rahbour, menjelaskan penanganan insiden korban massal yang luar biasa tinggi, kebanyakan anak laki-laki yang kembali dari lokasi GHF. "Sebanyak 100% kasus, (mereka mengatakan) itu dari pasukan Israel."
Sejak awal, distribusi GHF berlangsung penuh kekerasan dengan lebih dari 400 warga Palestina terluka hanya dalam minggu pertama dan lebih dari 30 pasien meninggal dunia saat tiba di rumah sakit lapangan Palang Merah. Lokasi distribusi makanan pertama berada di zona, Rafah barat, yang ditandai Israel untuk evakuasi. Akibatnya, warga Palestina harus menentang perintah tersebut untuk mendapatkan makanan.
Dari 21 hari penembakan di lokasi distribusi makanan pada Juni, militer Israel mengakui melepaskan tembakan terhadap korban yang dianggap tersangka atau melepaskan tembakan peringatan sebanyak delapan kali, tetapi berulang kali membantah telah menargetkan warga sipil. Dalam beberapa kasus, militer Israel mengetahui ada laporan korban luka dan tujuh kasus sedang ditinjau dan GHF membantah insiden di sekitar lokasinya...