REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan, di tengah tumbuhnya kinerja lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan lembaga jasa keuangan lainnya (PVML), terdapat risiko dan kompleksitas yang mesti dianalisis dengan baik. Karena itu, diperlukan langkah mitigasi yang tepat.
“Kinerja PVML semakin tinggi dan semakin dibutuhkan. Memang di sisi lain, karena inovasi, kreativitas, dan terobosan yang dimunculkan industri ini dalam bentuk produk pembiayaan dan dukungan keuangan, menimbulkan pula risiko dan kompleksitas yang harus mampu kita mitigasi dengan baik,” kata Mahendra dalam sambutannya di acara National Forum of Financing Services and Microfinance 2025 di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Mahendra menyebut, hal tersebut lazim dijumpai dalam pengembangan dan penguatan inovasi pembiayaan, apalagi untuk pembiayaan kecil/mikro, terutama berbasis teknologi.
OJK mencatat kontribusi sektor PVML tercermin dari pertumbuhan aset sebesar 4,02 persen year on year (yoy) menjadi Rp 1.049 triliun per Juni 2025, dengan jumlah pelaku industri mencapai 742 entitas.
Penyaluran pembiayaan meningkat 4,30 persen secara yoy menjadi Rp 955 triliun, terdiri atas pembiayaan konvensional Rp 844 triliun atau sekitar 88 persen, dan pembiayaan syariah Rp 111 triliun. PVML juga berkontribusi pada pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp 272 triliun.
Di samping pertumbuhan tersebut, terdapat beragam risiko di sektor PVML, mulai dari risiko kredit pada perusahaan pembiayaan hingga maraknya lembaga keuangan tidak bertanggung jawab seperti pinjaman online (pinjol) ilegal.
“Bukan pandangan dan posisi yang benar jika kita justru anti terhadap risiko dan kompleksitas yang dihadapi, tetapi ini tantangan bagi kita untuk dapat memahaminya, menguasai, menghitung, dan memitigasinya, serta menjadikan sistem yang ada menjadi kuat, teruji, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Mahendra menekankan, hal itu menjadi nilai dan ciri unik industri pembiayaan berbasis usaha mikro, menengah, dan startup, serta usaha yang belum atau tidak memperoleh pembiayaan perbankan (unbankable).
“Jadi ini memang model bisnis dan pembiayaan yang menjadi ciri industri PVML. Bahwa kemudian diperlukan penanganan, pemahaman, peraturan, perumusan kebijakan, atau langkah pengawasan yang lebih sesuai, dan tentu mitigasi yang tepat, itu konsekuensi yang memang sudah digariskan termasuk untuk dijalankan secara utuh di dalam UU P2SK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mahendra menerangkan Peraturan OJK (POJK) yang mengatur penguatan dan pengembangan industri PVML yang jumlahnya mencapai belasan beleid. Ia mengonfirmasi pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas PVML OJK Agusman yang menyebut perlunya berbagai langkah deregulasi untuk menanggapi dinamika industri tersebut.
“Bahwa sesuai kerangka waktu yang ditentukan UU P2SK, 12 POJK yang terkait industri PVML sudah tuntas. Namun, di sisi lain, lesson learned dari penerapan berbagai peraturan memberi umpan balik, masukan, dan pemahaman untuk penyempurnaan ke depan yang lebih baik,” kata Mahendra.
“Sehingga konsekuensinya, sebagian POJK itu akan diperkuat dan disempurnakan dalam waktu dekat karena mempertimbangkan kebutuhan penguatan, pengembangan, konsolidasi sekaligus deregulasi, penyederhanaan peraturan, dan tentu peningkatan efektivitas pelayanan. Jadi kami tidak anti terhadap revisi peraturan, sekalipun peraturan itu baru diterbitkan, karena lesson learned menunjukkan kekhasan masing-masing industri berbeda,” lanjutnya.
Untuk industri PVML sendiri, ujar Mahendra, diperlukan kecepatan beradaptasi atau penyesuaian yang tepat. Karena itu, langkah-langkah mitigasi risiko dan kompleksitas memiliki kekhasan tersendiri.