Nasionalisme sering kita pahami sebagai cinta tanah air: kibarkan bendera, nyanyikan lagu kebangsaan, pasang foto Merah Putih di media sosial. Tapi di era sekarang, apakah itu cukup? Jika nasionalisme hanya sebatas simbol digital atau seremonial, ia hanyalah “like” kosong, retorika indah tanpa dampak nyata bagi bangsa.
Pandemi memberi pelajaran penting. Nasionalisme bukan hanya tentang berteriak “Indonesia Bangkit!” di timeline, tetapi juga tentang kepedulian nyata: mematuhi protokol kesehatan, membantu tetangga yang terdampak, mendukung tenaga medis, dan riset vaksin lokal. Kementerian Kesehatan mencatat, masyarakat yang disiplin mematuhi protokol menekan laju penularan secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa aksi nyata lebih penting daripada sekadar unggahan heroik di Instagram.
Globalisasi menantang makna nasionalisme lebih jauh. Generasi muda terkoneksi dengan dunia lewat internet dan budaya populer global. Nasionalisme modern tidak menolak globalisasi; justru mendorong kita memanfaatkan peluang global untuk kemajuan nasional. Startup lokal dan UMKM digital yang mampu menembus pasar internasional adalah bukti bahwa cinta tanah air bisa diwujudkan melalui inovasi, bukan sekadar retorika anti-global.
Politik identitas dan intoleransi menjadi ujian lain bagi nasionalisme kita. Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis Setara Institute menunjukkan realitas yang mengkhawatirkan: skor rata-rata toleransi kota di Indonesia justru menurun dari 5,06 pada 2023 menjadi 4,92 pada 2024. Kota Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran dengan skor 6,544 menggantikan posisi Singkawang yang sebelumnya langganan juara. Namun di sisi lain, sejumlah kota seperti Parepare, Cilegon, dan Lhokseumawe tercatat sebagai daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi. Fakta ini menegaskan bahwa toleransi dan inklusivitas bukanlah jargon manis, melainkan fondasi nyata bagi persatuan bangsa.
Oleh karena itu, nasionalisme modern tidak boleh dibangun di atas eksklusi atau pengucilan kelompok tertentu. Ia harus hadir dalam bentuk penghormatan terhadap perbedaan, keberanian merajut keragaman sebagai kekuatan, serta komitmen kebijakan yang melindungi seluruh warga tanpa diskriminasi. Tanpa itu, nasionalisme hanya akan melahirkan kebanggaan semu yang mudah retak ketika berhadapan dengan konflik identitas.
Tantangan lingkungan juga menuntut bentuk nasionalisme baru. Indonesia, sebagai negara kepulauan, rawan bencana ekologis. Cinta tanah air berarti menjaga hutan, mengurangi jejak karbon, dan mendukung kebijakan hijau. Jika tidak, kita hanya merayakan simbol kosong bendera di feed tanpa peduli bumi yang sebenarnya kita tinggali.
Ekonomi pun menjadi medan ujian nasionalisme. Dukungan terhadap produk lokal dan penguatan UMKM tidak cukup sebatas slogan “belilah produk Indonesia!” Nasionalisme harus diwujudkan dengan menciptakan ekosistem agar usaha lokal tumbuh, bersaing, dan membuka lapangan kerja. Dengan begitu, nasionalisme menjadi motor pembangunan yang nyata, bukan sekadar caption motivasi di media sosial.
Kesimpulannya, nasionalisme di era digital bukan soal bendera di feed atau seruan di timeline. Ia adalah aksi nyata: kepedulian terhadap sesama, inovasi untuk kemajuan bangsa, inklusivitas, dan perlindungan lingkungan serta ekonomi nasional. Tanpa tindakan konkret, “like” dan “share” hanyalah narsisme patriotik, simbol kosong yang tidak mengangkat bangsa.
Pertanyaannya: Apakah kita hanya bangga di caption atau benar-benar mencintai Indonesia dengan aksi nyata? Jawaban itu menentukan apakah nasionalisme kita jadi kekuatan atau sekadar hiasan di layar smartphone.