
Indonesia sebagai negara maritim dengan 17.508 pulau, seharusnya punya peran besar di sektor logistik, rantai pasok, sistem informasi dan infrastruktur kewilayahan. Indonesia sebagai negara maritim menguasai chokepoins atau tiga titik strategis dan kritis di sektor tersebut, sehingga harusnya dapat berperan di kancah perdagangan Internasional. Namun hingga hari ini, kita hanya menjadi negara yang masih terus menerus tergantung pada sumber daya alam (SDA) tiada henti. Di chokepoint kita kalah oleh Singapura, Vietnam dan Malaysia yang jauh lebih kecil dengan SDA terbatas.
Salah satu SDA yang saat ini menjadi penyumbang devisa, meskipun tidak besar namun merusak lingkungan, yaitu penjualan pasir laut yang dikemas oleh pemerintah menjadi penjualan sedimentasi. Sedimen adalah sampah yang menumpuk di atas pasir, lalu ketika diambil menggunakan alat isap, si alat apa bisa mendeteksi mana pasir mana sedimen. Jadi menjual sedimen sama saja menjual pasir laut.
Perdagangan pasir laut diatur oleh beberapa peraturan perundangan, seperti UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara, PP No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, dan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Sebagai chokepoint perdagangan dunia, Indonesia seharusnya membangun pelabuhan transhipment sendiri, bukan hanya sekadar pelabuhan pengumpul seperti sekarang. Untuk ekspor, semua kargo Indonesia dikirim ke Tanjung Pelepas atau PSA Singapore. Sebuah tragedi bagi sebuah negara sebesar Indonesia.
Ekspor pasir laut Indonesia bukan sekadar transaksi perdagangan biasa tetapi ini proses perlambatan pertumbuhan secara perlahan demi kemakmuran negara lain. Pengalaman saya melewati Selat Singapura dari Batam ke Singapura beberapa kali bulan lalu, sempat berpapasan dengan tongkang pembawa pasir dari wilayah Indonesia. Menurut saya itu sebuah penjualan tanah air melewati muka kita di wilayah perairan Indonesia dan ini harus segera dihentikan oleh Presiden Prabowo.
Kaitannya dengan Masa Depan Logistik dan Rantai Pasok

Ekspor pasir laut sempat dihentikan tahun 2003 melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan zaman Presiden Megawati, tetapi diaktifkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sejak 1960-an hingga penghentian pada 2003, Indonesia telah mengekspor lebih dari 2,5 miliar meter kubik pasir laut yang digunakan Singapura untuk reklamasi. Kata Pasir di kamuflase dengan sedimentasi (sampah). Pertanyaan saya apakah mesin pengisap pasir laut bisa membedakan antara pasir dengan sedimentasi? Kalau saya lihat ketika berpapasan dengan tongkang pengangkut sedimentasi, itu pasir bukan sampah.
Penjualan pasir laut Indonesia ke negara tetangga, khususnya Singapura, digunakan oleh Singapura untuk memperluas wilayahnya, termasuk membangun mega Pelabuhan Tuas yang berkemampuan 65 juta TEUS (Twenty-Foot Equivalent Units) atau 2 x lebih besar dari PSA. Bayangkan dengan pelabuhan kita yang terdekat dengan PSA saja, seperti Kuala Tanjung dan Belawan secara teknis sulit bersaing dengan Pelabuhan Tuas atau Tanjung Pelepas.
Secara tidak sadar kita memperbesar pelabuhan negara tetangga tetapi membunuh pelabuhan kita. Artinya kemampuan kita sebagai chokepoint mengecil dan logistik kita semakin tergantung dengan PSA atau nantinya Pelabuhan Tuas dan Tanjung Pelepas. Kemampuan pelabuhan kita sebagai transhipment (kalau ada) pudar secara alamiah, sementara reklamasi Pelabuhan Tuas yang dibangun menggunakan pasir Indonesia, berkapasitas 65 juta TEU—hampir empat kali lipat total throughput seluruh pelabuhan di Indonesia.
Dari tulisan Gilarsi Wahyu Setiono di Tirto.id, saya kutip beberapa data bahwa luasan Singapura bertambah dari 682,7 km² pada tahun 2000 menjadi 735,7 km² pada 2023 berkat pasir laut (sedimen kata Presiden Jokowi) dari Indonesia. Singapura berhasil menjadi hub maritim terbesar dunia dengan throughput kontainer 37,5 juta TEUS pada 2023. Throughput adalah biaya yang dikenakan kepada pengguna alur, pelabuhan atau fasilitas penyimpanan untuk setiap unit kargo atau peti kemas yang diproses melalui pelabuhan tersebut.
Masih dari Tulisan Gilarsi, dalam 23 tahun luasan daratan Singapura bertambah 53 km² dengan menggunakan 74,5 km² pasir yang sebagian besar berasal dari Indonesia dengan biaya USD 13 miliar. Sementara Indonesia, dengan garis pantai 95.181 kilometer, masih berkutat dengan total throughput seluruh pelabuhan nasional hanya mencapai 17,8 juta TEUS. Jadi pantas jika PP No. 26 Tahun 2023 sedang di Judicial Review ke Mahkamah Agung harus diloloskan (berita hari ini MA mengabulkan JR PP No. 26 Tahun 2023. Artinya ekspor pasir laut kembali dilarang).
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan ekspor pasir laut Indonesia pada 2022-2023 mencapai 138,9 juta meter kubik, dengan nilai sekitar USD 1,2 miliar. Angka yang terlihat besar tetapi kita tidak sadar bahwa dengan biaya USD 1,2 miliar, Singapura menggunakan impor pasir dari Indonesia itu untuk membangun infrastruktur pelabuhan Tuas yang akan menghasilkan revenue USD 7-8 miliar per tahun dari jasa logistik dan transhipment. Coba kita bayangkan Indonesia menerima USD 1,2 miliar dari menjual asset (regardless siapa yang menerima atau menikmati dan apakah mereka membayar pajak secara benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu), sementara Singapura meraup lebih dari USD 8 miliar per tahun dari mengolah aset tersebut. Bukan main!

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menunjukkan bahwa penambangan pasir laut telah menyebabkan abrasi pantai di 1.167 desa pesisir, hilangnya 24 pulau kecil, dan kerusakan ekosistem terumbu karang seluas 15.000 hektare. Belum lagi hancurnya ratusan hektare hutan mangrove yang sangat bermanfaat untuk penyimpanan karbon. Kerugian ekonomi ekologis Indonesia diperkirakan mencapai USD 2-3 miliar, atau dua kali lipat dari revenue ekspor pasir itu sendiri. Pertanyaan saya, siapa bandar ekspor pasir laut tersebut ?
Dengan menggunakan pasir laut Indonesia, Singapura menjadi pengendali 20% bisnis kontainer global dan 85% perdagangan di Selat Malaka. Kita sebenarnya berniat mengurangi peran itu melalui pembangunan pelabuhan di P. Nipah, sayangnya kita berkelahi sendiri untuk membangun pelabuhan di pulau tersebut dan potensi devisa dikhawatirkan. Akan hilang. Jadi secara tidak sadar, Indonesia semakin bergantung pada pelabuhan di Singapura dan Malaysia untuk transhipment dan ikut membantu mengembangkan bisnis logistik dua negara tetangga kita.
Langkah Pemerintah
Hentikan proses ekspor pasir atau sedimen, meskipun terlambat tetapi paling tidak kita dapat menghambat pembangunan pelabuhan negara tetangga dan kita punya kesempatan membangun pelabuhan transhipment sendiri baik melalui Danantara (Pelindo sebagai BUP) maupun swasta. Rencana pembangunan pelabuhan transhipment di Dumai atau Kuala Tanjung harus segera diwujudkan, paling tidak komoditi ekspor kita tidak perlu mampir dan dikendalikan Pelabuhan Tuas, atau PSA atau Tanjung Pelepas. Urus dan pertahankan hutan mangrove kita supaya pendapatan dari bisnis karbon mendatang bisa dinikmati anak cucu kita dan Indonesia menjadi penguasa di Selat Malaka, Bisa dan berani, kah? Semua tergantung pimpinan nasional kita. Saya dukung langkah Presiden Prabowo memperkuat Indonesia.
Semoga benar kabar uji materi atau Judicial Review PP No. 26 tahun 2003 oleh Muhammad Taufik ke Mahkamah Agung dikabulkan karena langkah ini dapat menghentikan ekspor legal dan illegal pasir laut Indonesia ke luar negeri. Kalau tidak, secara teoretis bangsa Indonesia sudah ditaklukkan oleh bangsa lain tanpa harus melalui operasi militer, cukup dengan cara membuat ekonomi Indonesia tergantung pada infrastruktur yang dibangun dengan darah, keringat dan air mata Indonesia melalui ekspor pasir laut.