Muliadi Saleh
Agama | 2025-09-04 15:48:57
Oleh: Muliadi Saleh
Tiba-tiba di WA saya ada pesan masuk. Ternyata dari sahabat lama saya, Dr. Awaluddin Yunus, dosen di Universitas Islam Makassar, sekaligus teman seangkatan di Pesantren IMMIM. Dengan hangat ia mengapresiasi tulisan saya tentang Narasi dan Refleksi Puitis Surah Al-Fatihah, khususnya ayat ke-6: “Ihdinash shirathal mustaqim”. Namun, ia tak berhenti di sana. Ia meminta saya melanjutkan tulisan, kali ini tentang Surah An-Nur ayat 35.
Sebelum saya menanggapi, saya minta dia berbagi kesan batin ketika membaca ayat itu. Ia menjawab lirih, “Saat saya mulai merenunginya, tak ada kata yang mampu terucap. Yang keluar hanya air mata. Semoga suatu ketika ada kata yang lahir dari makna yang terang benderang ini. Di sana ada cahaya, penerang alam semesta. Allah memberi cahaya kepada siapa yang dikehendaki. Ini super energi dalam bentuk hidayah, yang cahayanya menerangi seluruh kegelapan. Saya pun tak mampu membayangkan apa yang harus saya tuangkan tentang ayat itu.”

Kata-kata sahabat saya itu membuat saya ikut terdiam. Benarlah, ada ayat-ayat yang begitu agung, sehingga kata-kata terasa kerdil di hadapannya. Surah An-Nur ayat 35 adalah salah satunya. Ayat yang dikenal dengan Ayat an-Nur ini adalah pusat renungan para ulama, filosof, dan sufi sepanjang zaman. Akhirnya dengan pena berat saya mulai menulis. Dengan maha-keterbatasan, saya beranikan diri tuangkan narasi ini dan memohon ampun sambil mengucapkan WALLAHU A'LAMU BISSAWAB, mohon hidayah ya Allah :
Cahaya yang Menembus Jiwa
Allah berfirman:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَا حٌ ۗ الْمِصْبَا حُ فِيْ زُجَا جَةٍ ۗ اَلزُّجَا جَةُ كَاَ نَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰـرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍ ۙ يَّـكَا دُ زَيْتُهَا يُضِيْٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَا رٌ ۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍ ۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَ مْثَا لَ لِلنَّا سِ ۗ وَا للّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. An-Nur 24: Ayat 35)
Ayat ini menghadirkan lukisan spiritual yang memikat. Ia berbicara dengan bahasa cahaya, bahasa yang paling mudah dirasakan tetapi paling sulit dijelaskan. Cahaya adalah sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara fisik, tetapi keberadaannya mutlak. Tanpa cahaya, dunia hanyalah kegelapan. Tanpa cahaya Allah, hati hanyalah kehampaan.
Misykat: Relung Hati Manusia
Para mufassir menggambarkan misykat sebagai relung atau lubang tempat pelita diletakkan. Itulah hati manusia. Hati pada dasarnya adalah ruang kosong yang menanti cahaya. Jika Allah memasukkan iman ke dalamnya, hati itu menyala, lalu menerangi seluruh perjalanan hidup.
Imam Al-Ghazali dalam Mishkat al-Anwar menguraikan bahwa pelita itu adalah cahaya iman, kaca adalah qalbu yang jernih, sedangkan minyak zaitun adalah fitrah manusia yang suci. Begitu hati bersih, fitrah murni, dan iman menyala, maka cahaya itu tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga memancar ke sekitar.
Kaca yang Bening, Bintang yang Berkilauan
Kaca dalam perumpamaan ini adalah lambang kejernihan batin. Hati manusia bisa keruh oleh dosa, kusam oleh riya, atau bahkan retak oleh dengki. Tetapi bila ia jernih, ia menjadi seperti kaca bening: mampu memantulkan cahaya Ilahi tanpa distorsi.
Ibnu Katsir menyebut, kaca itu seakan bintang berkilauan di langit malam. Begitulah hati seorang mukmin yang bersih: ia menjadi cahaya di tengah kegelapan zaman, petunjuk bagi diri sendiri sekaligus lentera bagi orang lain.
Pohon Zaitun: Simbol Keberkahan dan Keseimbangan
“Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, pohon zaitun yang tidak di timur dan tidak di barat.”
Zaitun adalah lambang keberkahan. Pohonnya tegak, daunnya hijau, buahnya bergizi, minyaknya bercahaya. Tidak di timur dan tidak di barat berarti netral, seimbang, universal. Fitrah manusia pun demikian: ia lahir murni, tidak condong ke arah tertentu, siap menerima cahaya.
Al-Ghazali berkata, minyak zaitun ini begitu jernih hingga hampir-hampir menyala tanpa api. Begitu pula jiwa yang fitrahnya terjaga: ia berkilau sendiri meski belum tersentuh api wahyu. Dan ketika wahyu datang, ia semakin bercahaya.
Cahaya di atas Cahaya
Inilah puncak dari ayat ini: “Nurun ‘ala nur – cahaya di atas cahaya.”
Para sufi menafsirkan lapisan cahaya ini sebagai cahaya akal yang diperteguh oleh cahaya wahyu, cahaya iman yang diperteguh oleh cahaya cinta, cahaya lahir yang diperteguh oleh cahaya batin. Setiap cahaya menambah lapisan baru hingga manusia benar-benar menjadi nurani—jiwa yang bercahaya.
Rumi menulis: “Cahaya Allah bukan hanya menerangi jalanmu, tetapi juga membuatmu sadar bahwa engkau tak pernah berjalan sendirian.”
Panggilan untuk Menjadi Pelita
Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Ini bukan berarti eksklusif, tetapi menjadi isyarat bahwa cahaya Allah tak bisa dipaksa. Ia adalah anugerah yang turun kepada hati yang siap. Karena itu, tugas kita adalah menyiapkan wadahnya: membersihkan hati, menjernihkan kaca batin, memelihara fitrah.
Jika hati itu jernih, ia akan menjadi pelita. Jika pelita itu menyala, ia akan menerangi jalan. Jika jalan itu terang, ia akan mengantar kita pulang kepada Sang Cahaya Abadi.
Doa Puitis
Sahabat saya Dr. Awaluddin menangis saat membaca ayat ini, karena ia menyadari bahwa tak ada kata yang mampu melukiskan keindahan cahaya Allah. Dan mungkin, memang itulah maksud dari ayat ini: bukan untuk dijelaskan dengan kata-kata, tetapi untuk dirasakan dengan hati.
Maka biarlah esai ini ditutup dengan doa:
Ya Allah,
Engkaulah Cahaya langit dan bumi. ...