PT MRT Jakarta (Perseroda) mengungkap bahwa bisnis naming rights atau hak penamaan stasiun terus menarik minat banyak perusahaan, baik lokal maupun global. Saat ini, proses penjajakan dengan sejumlah brand terus berlangsung.
Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta, Farchad Mahfud, mengakui bahwa proses ini tidak sesederhana memasang nama di dinding stasiun. Menurutnya, penawaran hak penamaan stasiun menjadi bagian dari strategi besar MRT dalam memaksimalkan aset sebagai sumber pendapatan di luar tiket.
"Naming rights, kemudian kita mulai untuk aset-aset kita yang masih memiliki nilai tambah untuk bisa memberikan pendapatan, kita monetize semuanya, sehingga boleh dibilang MRT ini sangat-sangat efisien dalam pemanfaatan asetnya untuk segala-galanya ya. Lantai, tembok, atap kalau perlu, oksigen kalau perlu kita jual, kira-kira begitu,” kata Farchad dalam MRT Jakarta Fellowship Program di Transport Hub, Kamis (7/8).
Saat ini, dari total 13 stasiun yang sudah memiliki nama mitra, masih ada 5 stasiun lagi yang belum memiliki branding. Beberapa perusahaan telah menyatakan minat, namun menurut Farchad, keputusan akhir selalu mempertimbangkan berbagai faktor.
"Ada beberapa memang (yang mau naming rights). Tapi gini, biasanya itu ada banyak lah pertimbangannya,” ungkapnya.
Misalnya, kecocokan antara identitas brand dan karakter lokasi stasiun, nilai kontrak, hingga strategi pemasaran masing-masing perusahaan. Tak jarang, meski satu brand tertarik, kesepakatan tidak tercapai karena berbagai alasan, termasuk harga atau ketidaksesuaian lokasi.
Naming rights sendiri telah menjadi salah satu andalan bisnis non-tiket MRT Jakarta. Konsep ini tidak hanya digunakan untuk mencari keuntungan, tapi juga untuk mengintegrasikan brand ke dalam kehidupan kota yang modern dan berbudaya. Beberapa stasiun seperti Blok M BCA, Cipete TUKU Raya, dan Senayan Mastercard menjadi contoh keberhasilan model ini.
“Salah satu yang kita andalkan dan menjadi ikon bisnis MRT, dari inovasi dari bisnis MRT, bahkan diandalkan di beberapa negara, antaranya Korea Selatan, itu adalah naming rights,” katanya.
Tak hanya brand besar nasional, MRT Jakarta juga aktif mendekati perusahaan global. Mereka melihat potensi besar karena citra MRT sebagai transportasi publik yang inklusif dan ramah lingkungan sangat cocok dengan nilai-nilai yang diusung brand global.
"Dia pengin dapet brand yang positif dengan bergabung dengan MRT di aspek sustainability dan sebagainya,” ungkap dia.
Dari sisi kontribusi bisnis, naming rights termasuk dalam kategori iklan atau advertisement. Bahkan, pendapatan dari sektor ini menyumbang cukup besar untuk keuangan perusahaan, khususnya dalam kategori non-farebox revenue (pendapatan non tiket).