REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, menilai regulasi yang mengatur royalti perlu dipertegas agar dapat menciptakan keseimbangan yang adil bagi semua pihak. Ia menekankan bahwa perlindungan hukum yang diberikan harus jelas, tidak memberatkan, dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas pada akhirnya.
Prof Hibnu mengatakan pembuatan sebuah karya seni atau intelektual bukanlah hal yang mudah. Diperlukan pengorbanan, pemikiran, dan modal yang tidak sedikit. Jiwa dan raga seorang pencipta dicurahkan sepenuhnya untuk menghasilkan sebuah karya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika negara hadir dan memberikan perlindungan hukum yang tegas terkait hak cipta dan royalti. "Negara harus hadir membuat aturan yang tegas, kapan itu royalti diberikan, kapan suatu royalti belum diberikan," ujar Prof Hibnu pada Senin (11/8/2025).
Salah satu poin krusial yang disoroti oleh Prof Hibnu adalah batas waktu perlindungan hak cipta yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Dalam undang-undang tersebut, perlindungan hak cipta berlaku seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Menurut Prof Hibnu, batas waktu yang terlalu lama ini dapat memberatkan pengguna karya. Ia mengusulkan agar aturan tersebut dapat mencontoh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (MIG), di mana perlindungan merek berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang. Jika tidak diperpanjang, merek tersebut akan menjadi milik umum.
Dengan menerapkan sistem serupa, diharapkan akan ada "jalan tengah" yang menguntungkan semua pihak. Pencipta tetap mendapatkan perlindungan hukum dan hak ekonomi atas karyanya, sementara pengguna karya tidak terus-menerus dibebani pembayaran royalti. Selain itu, karya tersebut pada akhirnya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.
Dia menekankan pentingnya bagi para pencipta untuk mendaftarkan karyanya ke Kementerian Hukum. Pendaftaran ini, menurutnya, adalah bentuk perlindungan hukum yang konkret. Dengan terdaftar, pencipta akan lebih mudah mengajukan keberatan jika karyanya digunakan tanpa izin. "Saya pun setiap kali penelitian, saya daftarkan ke Kementerian Hukum untuk menghindari komplain-komplain, tapi kalau sudah sekian tahun, itu menjadi milik umum. Ibaratnya seperti itu," kata dia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dia menilai revisi terhadap Undang-Undang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik perlu dilakukan. Mengingat pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, regulasi yang dibuat pada 2014 mungkin sudah tidak relevan lagi.
"Jadi, reformulasi aturan royalti diperlukan agar para pencipta tidak kehilangan hak ekonomi atas karyanya, dan pengguna karya tidak terlalu lama terbebani membayar royalti," kata Prof Hibnu.