
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan harus ada jeda waktu dalam penyelenggaraan Pileg DPR, DPD dan Pilpres dengan Pileg DPRD dan Pilkada.
MK memutuskan, Pileg DPR, DPD, dan Pilpres tetap digelar secara serentak. Namun, kini ada pemisahan yakni Pileg DPRD tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota akan digabung dengan Pilkada mulai dari Pilgub, Pilbup, dan Pilwalkot.
Sebelumnya, Pileg DPRD digelar bersamaan dengan Pileg DPR, DPD dan Pilpres. Hanya Pilkada yang digelar secara terpisah.
"Amar putusan mengabulkan pokok permohonan untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang gugatan MK di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Putusan itu dibacakan dalam sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

Gugatan dilayangkan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili Khoirunnisa Nur Agustyati sebagai Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti sebagai Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.
Pertimbangan MK Putus Pilkada-Pileg DPRD Digelar 2 Tahun Usai Presiden Dilantik

MK membeberkan pertimbangan mereka mengapa menggabungkan Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota dengan Pilkada dan memberi jeda waktu paling cepat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024 serta masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota hasil pemilihan 14 Februari 2024 memiliki berbagai dampak.
"Maka penentuan dan perumusan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dengan melakukan rekayasa konstitusional berkenaan masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, termasuk jabatan gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional," kata Saldi saat membacakan putusan dalam sidang gugatan MK di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Saldi menuturkan, dalam kaitan itu, MK menegaskan penyelenggaraan pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR dan anggota DPD yang terpisah dari waktu penyelenggaraan pemilu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, dan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dilaksanakan sejak pemilu 2029 untuk pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
"Sedangkan pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan pemilu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum yang selanjutnya dinyatakan dalam amar putusan a quo," tutur dia.
Atas dasar ini, MK menilai Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU 7 tahun 2017 serta Pasal 3 ayat 1 UU 8 tahun 2015 sepanjang berkenaan dengan model keserentakan model penyelenggaraan pemilu serentak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ke depan sepanjang tidak dimaknai 'pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelah dilaksanakan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPR, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota," kata Saldi.
Komisi II: DPRD Otomatis Diperpanjang jika Pilkada-Pileg DPRD Digelar 2031

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Kasrayuda mengatakan, putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang merombak sistem kepemiluan di Indonesia bisa berdampak pada masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota periode 2024-2029.
Politikus NasDem ini bilang, masa jabatan anggota DPRD mau tidak mau bakal diperpanjang imbas putusan MK.
MK mengatakan Pileg DPR, DPD, dan Pilpres tetap digelar secara serentak. Namun, kini ada pemisahan yakni Pileg DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota akan digabung dengan Pilkada. Gelaran Pilkada, Pileg DPRD yakni 2 tahun setelah anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Rifqi menyatakan, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten kota menjadi opsi paling realistis jika Pemilu Lokal dilaksanakan pada 2031.
“Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, wali kota kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” kata Rifqinizamy dalam keterangannya, Kamis (26/5).
Respons Koster hingga Bupati Bengkulu

Sejumlah kepala daerah menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pemilihan Legislatif (Pileg) DPRD tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota yang akan digabung dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Putusan itu dibacakan dalam sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Salah satunya dari Bupati Bengkulu Selatan Rifai Tajidun. Ia mengatakan, putusan MK sudah berdasarkan pertimbangan yang matang sehingga dirinya akan mengikutinya.
“Ya, tentunya pemerintah mengkaji dari segala aspek ya, demokrasiannya cukup dalam, artinya seluruh diidentifikasi, baik buruknya, seluruh pertimbangan. Setelah itu, lahir mungkin kita ikut melaksanakan dan mematuhi apa yang menjadi keputusan dari pemerintah sendiri,” tutur Rifai di Kampus IPDN Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jabar, Kamis (26/6).
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster, mengatakan akan mengikuti putusan MK karena berkaitan dengan Undang-Undang. Selain itu, Kemendagri juga akan membahasnya untuk ditindaklanjuti.
“Ya, kan itu putusan MK yang tentu harus dilaksanakan dan untuk tindak lanjutnya kan ada DPR berkaitan dengan Undang-Undang-nya, juga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pasti akan mengalami pembahasanya, kita ikut,” komentar Wayan.
Adapun Bupati Puncak Jaya Papua Yuni Wonda menilai, tidak mungkin untuk menolak putusan MK karena sifatnya mengikat. Meskipun anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu di Papua cukup mahal.
“Saya pikir itu biaya jelas mau putusan itu atau tidak tidak pengaruh karena sudah terbiasa. Jadi putusan itu tetap berlaku karena putusan MK itu final dan mengikat jadi saya pikir tetap akan berlaku,” pungkasnya.