
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen, penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini tidak hanya soal kecepatan dan efisiensi, tetapi juga bagaimana teknologi ini mampu memahami manusia. Ipsos, perusahaan riset pasar global, menekankan keberhasilan AI di masa depan bergantung pada kemampuannya menggabungkan kekuatan teknologi dengan sentuhan nilai manusia.
Meski AI mampu memproses data berskala besar dengan cepat, teknologi ini belum sepenuhnya memahami kompleksitas perilaku manusia. Keputusan konsumen sering dipengaruhi oleh emosi atau kebiasaan yang sulit diukur oleh algoritma. Ipsos menegaskan, AI yang efektif harus mampu menangkap nuansa tersebut.
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi tanpa memahami konteks sosial, nilai, dan emosi pengguna. Inovasi berisiko tidak tepat sasaran jika tidak mencerminkan kebutuhan nyata konsumen," ujar Ipsos Global Head of Product Testing Nikolai Reynolds dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/8).
Dengan adanya kolaborasi antara AI dan keahlian manusia dianggap menjadi fondasi inovasi yang tepat dan berkelanjutan. Pendekatan ini akan memastikan hasil analisis tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga benar-benar mencerminkan cara berpikir dan berperilaku manusia di dunia nyata.
Ipsos menekankan pentingnya data yang relevan, representatif, dan tetap valid seiring waktu. Data yang tidak lengkap atau tidak akurat dapat menyebabkan kesalahan besar, sebuah risiko yang telah terbukti dalam beberapa kasus.
Perusahaan itu juga menerapkan prinsip human in the loop, yaitu keterlibatan manusia di setiap tahap pengembangan dan penerapan AI. Kolaborasi antara teknologi dan peneliti berpengalaman menjadi kunci agar hasil analisis tetap akurat, etis, dan adaptif terhadap perubahan perilaku konsumen. Dengan pendekatan ini, AI bukan hanya alat analisis, tetapi juga mitra dalam menciptakan inovasi yang aman dan berdampak.
Laporan terbaru Ipsos, Humanizing AI for Innovation Success pun menyoroti pentingnya membangun inovasi yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga selaras dengan nilai, emosi, dan perilaku nyata konsumen.
Data Ipsos AI Monitor 2025 menunjukkan adanya optimisme yang disertai kewaspadaan terhadap AI secara global. Sebanyak 56% responden dunia percaya AI memberikan lebih banyak manfaat daripada kerugian. Di Indonesia, tingkat optimisme ini bahkan lebih tinggi, mencapai 85%, naik dari 80% pada 2024. Meski demikian, 43% masyarakat masih merasa khawatir saat menggunakannya.
Tingkat kepercayaan yang tinggi ini menjadi peluang besar untuk mengembangkan produk dan layanan yang relevan dengan kebutuhan sehari-hari.
"Negara yang paling antusias terhadap AI biasanya adalah negara yang percaya teknologi ini akan memberi manfaat besar bagi perekonomiannya," kata Hansal Savla, Managing Director Ipsos Indonesia.