SEJUMLAH pihak hingga pakar hukum bersuara ihwal tak kunjung dieksekusinya hukuman pidana terhadap Silfester Matutina. Kendati telah divonis penjara 1 tahun 6 bulan pada 2019 lalu, nyaris enam tahun berselang Silfester masih belum dijebloskan ke hotel prodeo. Malahan, pada Maret lalu ia diangkat menjadi komisaris di salah satu BUMN, ID Food.
Silfester dikenal sebagai tokoh pendukung garis keras Joko Widodo atau Jokowi. Pada 2018, ia dijatuhi hukuman penjara oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Orang dekat Jokowi ini terbukti bersalah melakukan tindak pidana fitnah terhadap mantan wakil presiden Jusuf Kalla atau JK. Salah satunya, ia menyebut JK sebagai sumber permasalahan yang ada di Indonesia.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla. Mari kita mundurkan Jusuf Kalla karena Jusuf Kalla menggunakan rasisme, isu sara, untuk memenangkan Anies-Sandi “betul” dan untuk kepentingan politik Jusuf Kalla tahun 2019 dan untuk kepentingan korupsi keluarga Jusuf Kalla,” pada Mei 2017, seperti dikutip dari SIPP PN Kejari Jaksel.
Berikut tanggapan sejumlah pihak hingga pakar hukum ihwal tak kunjung dieksekusinya hukuman pidana terhadap Silfester Matutina:
1. Pakar hukum tata negara Mahfud Md
Pakar hukum tata negara Mahfud Md menyatakan masa eksekusi vonis majelis hakim terhadap terpidana Silfester belum kedaluwarsa. Oleh karena, menurut eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) ini, jaksa eksekutor di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tetap bisa mengeksekusinya.
“Kedaluwarsa untuk eksekusi adalah 12 tahun ditambah sepertiganya. Artinya 16 tahun,” ujar Mahfud di akun X miliknya, Rabu, 13 Juli 2025. Tempo telah meminta izin kepada tim Mahfud untuk mengutip pernyataan tersebut.
Mahfud MD juga mempertanyakan Kejaksaan yang tidak kunjung mengeksekusi vonis pengadilan tingkat kasasi yang menyatakan Silfester bersalah. Mahfud menegaskan, putusan yang berkekuatan hukum tetap harus dieksekusi, meski para pihak berdamai.
“Silfester belum dieksekusi selama 6 tahun sejak vonis pidananya inkrah, mestinya Kejaksaan Agung menjelaskan,” bunyi penggalan twitnya.
2. Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman
Eks Jaksa Agung Marzuki Darusman menilai mandeknya eksekusi hukum terhadap Silfester sebagai situasi yang “janggal” dan sarat impunitas. Aktivis Hak Asasi Manusia ini menegaskan, Kejaksaan semestinya mengeksekusi vonis yang telah berkekuatan hukum tetap, sebelum membuka ruang upaya hukum lain.
“Ya, janggal. Itu situasi yang janggal sekali,” kata Marzuki saat ditemui di Jakarta Pusat, Kamis, 14 Agustus 2025.
Diketahui, Silfester mengajukan peninjauan kembali atau PK seiring mencuatnya kasus ini pada 4 Agustus lalu. Namun, menurut Marzuki, status hukum Silfester belum jelas karena vonisnya tidak kunjung dieksekusi. Sehingga PK yang diajukan Silfester harus ditolak.
“Sebelum bisa PK, harus ada kejelasan tentang statusnya. Apapun PK yang diajukan itu harus ditolak Mahkamah Agung,” ujarnya.
Di sisi lain, Marzuki menilai kelambanan ini tidak bisa dilepaskan dari faktor politik. Ia mengatakan, ada kekuatan-kekuatan di balik ini semua yang menyebabkan kasus janggal ini bisa begitu terbuka. “Ini satu kasus impunitas yang terkait erat sekali dengan masalah pengaruh politik,” katanya.
3. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra
Sendada dengan Marzuki, Azmi Saputra selaku Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti menilai penundaan eksekusi atas Silfester bukan masalah yuridis semata, namun didominasi oleh muatan politis. Ia menyayangkan bahwa di tengah riak kegaduhan politik hari ini, hukum seakan menjadi abu-abu.
“Sebab seolah negara hukum tunduk pada kepentingan yang berkelompok,” kata Azmi kepada Tempo saat dihubungi Rabu, 13 Agustus 2025.
Jika pola penundaan ini terjadi karena adanya dugaan kedekatan dengan jejaring pihak-pihak tertentu atau figur tertentu dalam kekuasaan, ia berujar, maka artinya bangsa ini sedang diperlihatkan sebuah proteksi politik sekaligus bencana politik. Yakni dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Ia menyebut, kongkalikong yang dilandaskan pada politik tersebut dapat beragam wujudnya. Kesepakatan atau pengendalian tertentu bisa hadir dalam bentuk persekongkolan, saling menjaga, saling melindungi dan cendrung defensif.
4. Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)
TPUA mempertanyakan kinerja Kejaksaan Agung yang belum juga menahan Silfester meski hukuman terhadapnya sudah berkekuatan hukum tetap sejak enam tahun lalu. Mereka curiga adanya unsur politik di balik pembiaran Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) itu bebas.
Pengacara TPUA, Abdul Gafur Sangaji menilai, Kejagung semestinya telah menahan Silfester sejak enam tahun lalu. Menurut dia, Silfester kini seharusnya telah mendekam di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas). “Seharusnya putusan ini sudah dieksekusi,” kata Gafur kepada wartawan, Senin, 11 Agustus 2025.
Tim kuasa hukum TPUA lainnya, Ahmad Khozinudin, mencurigai ada motif politik di balik keputusan Kejagung untuk tidak menahan Silfester. Menurut Khozinudin, politisasi hukum tersebut terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Khozinudin menduga, Silfester tidak ditahan karena dia merupakan aktor politik yang dekat dengan Jokowi.
“Karena di era kekuasaan Jokowi, Silfester Matutina dikenal sebagai bagian dari pendukung Jokowi,” kata Khozinudin.
5. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla
Jusuf Kalla tidak mau banyak komentar mengenai hukuman yang menjerat Silfester Matutina. JK mengatakan menghormati proses yang ada di pengadilan. Kalla mengatakan tidak begitu memusingkan ucapan Silfester.
“Hanya, keluarga yang keberatan soal omongannya Silfester itu,” kata mantan Ketua Umum Partai Golkar ini melalui sambungan telepon kepada Tempo pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Menurut Jusuf Kalla, dia tidak pernah bertemu dengan Silfester untuk menyelesaikan persoalan fitnah. “Ke saya juga tidak ada minta maaf karena tidak pernah bertemu,” katanya. Mantan menteri perindustrian ini juga tidak pernah mendengarkan permintaan maaf Silfester yang disampaikan melalui orang terdekat.