TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Teuku Raja Aulia Habibi menolak rencana pembentukan Batalyon Teritorial oleh Tentara Nasional Indonesia atau TNI di Aceh. Menurut dia, kehadiran batalyon itu mencederai semangat perdamaian serta mengkhianati butir-butir perjanjian Helsinki antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM pada 2005 silam.
Penolakan ini bukanlah yang perdana disampaikan Teuku Raja. Ia terpantau beberapa kali melayangkan penolakan terhadap rencana kehadiran ribuan serdadu yang bakal bertugas di wilayah Aceh lewat wacana Batalyon Teritorial ini. Teranyar, penolakan itu Teuku Raja sampaikan saat berorasi di aksi nasional BEM-SI bertajuk Indonesia (C)emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami mendesak pemerintah membatalkan pembangunan batalyon baru di Aceh, baik yang sedang berjalan maupun yang masih dalam tahap perencanaan,” kata dia melalui keterangan tertulis, Senin, 4 Agustus 2025. “Kami mendesak pemerintah membuka secara transparan data jumlah tentara organik yang ditempatkan di Aceh sesuai dengan ketentuan dalam MoU Helsinki.”
Teuku Raja menyoroti aksi mahasiswa Aceh yang terkesan tidak mendapatkan respons dari pemerintah ihwal penolakan ini. Ia pun berinisiatif datang ke Jakarta untuk menyuarakan penolakan pembangunan Batalyon Teritorial tersebut. “Saat kami hadir langsung (unjuk rasa) di depan Istana Negara, responsnya tetap sama. Seolah-olah kami tak pernah bicara,” ucapnya.
Menurut Teuku Raja, pembangunan batalyon ini bukan hanya persoalan pertahanan, tetapi menyentuh sisi historis, sosial, dan politik Aceh yang kompleks. Ia menjelaskan bahwa penolakan ini bukanlah tidak sepakat dengan menjaga pertahanan negara, melainkan penolakan itu dilakukan untuk supaya luka lama tidak kembali terjadi. “Kami tidak ingin sejarah kelam itu terulang,” ujar Teuku Raja.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana menjelaskan pembentukan Batalyon Teritorial itu bukanlah untuk pasukan tempur, melainkan menjadi pasukan ketahanan pangan serta pelayan kesehatan.
Awalnya wacana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan digelindingkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin saat rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 25 November 2024. Sjafrie mengatakan ide itu adalah gagasan Presiden Prabowo Subianto.
Sjafrie menyebut presiden menetapkan strategi nasional agar setiap kabupaten, yang jumlahnya saat ini ada 514, dapat dijaga oleh satu batalyon infanteri teritorial pembangunan. Batalyon ini diperkuat oleh dua batalyon komponen cadangan. Tujuannya menciptakan stabilitas keamanan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan turut menolak wacana ini. Menurut koalisi itu, kebijakan ini menyimpang dari mandat utama TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI.
Sementara itu, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pertahanan, meminta TNI AD mencermati rencana pembentukan batalyon teritorial pembangunan. Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono mewanti-wanti TNI untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menindaklanjuti rencana itu.
"TNI memiliki tugas utama sebagai alat pertahanan negara dan setiap kebijakan yang melibatkan rekrutmen prajurit harus tetap berpegang pada prinsip profesionalisme dan kesigapan tempur," ujar Dave saat dihubungi pada Selasa, 10 Juni 2025.